Senin, 11 Agustus 2008

TINGKAT MORALITAS ISLAM DALAM QUR'AN DAN HADITS

Menurut Al-Qur`an dan sunnah Rosul, moralitas islam terdiri dari tiga tingkatan ialah : iman, islam dan ihsan, dan susunan tersebut bersifat alamiah, artinya tingkatan berikut lahir dari tingkatan sebelumnya yang berfungsi sebagai dasar.

Marilah kita simak dalil berikut :

كَانَ النَّبِىُ صلى الله عليه وسلم بَارِزًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيْلُ فَقَالَ مَا الإِيْمَانُ قَالَ الإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ قَالَ مَا الإِسْلاَمُ قَالَ الإِسْلاَمُ أَنْ تَعْبَدَ اللهَ وَلاَ تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتَقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوْضَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ قَالَ مَا الإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَعْبَدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ ... الحديث * رواه البخارى
“Suatu hari Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam ada diantara manusia, Jibril datang pada Nabi, maka Jibril bertanya : apakah iman ? Nabi berkata : iman adalah jika engkau iman kepada Alloh, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, bertemu kepadaNya, rosul-rosulNya dan iman kepada hari kebangkitan. Jibril bertanya : apakah islam ? Nabi berkata : islam adalah jika engkau menyembah kepada Alloh, engkau tidak mensekutukanNya sedikitpun, engkau menetapi sholat, engkau mendatangkan zakat yang diwajibkan dan engkau berpuasa romadlon. Jibril bertanya : apakah ihsan ? Nabi berkata : bahwa jika engkau menyembah kepada Alloh seolah-olah engkau melihatnya, jika tidak bisa maka Alloh melihatmu . . .”

Menurut Al-Qur`an dan sunnah Rosul sebagai tersebut diatas, moralitas islam terdiri dari tiga tingkatan ialah : iman, islam dan ihsan, dan susunan tersebut bersifat alamiah, artinya tingkatan berikut lahir dari tingkatan sebelumnya yang berfungsi sebagai dasar.

Kalau tingkat pertama tidak kuat, tidak dapat dibayangkan akan bisa didirikan tingkat kedua, ibarat bangunan maka iman adalah fundamennya, diatas fundamen itu didirikan bangunan islam dan ihsan.

Dari perumpamaan itu jelaslah bahwa selama iman yang merupakan dasar dari islam dan ihsan tidak ada, tidak mungkin ada islam dan ihsan dalam bentuk apapun juga. Demikian pula jika iman lemah dan goncang, tidak mungkin didirikan di atasnya bangunan apapun, kalau didirikan juga tentu bangunan tersebut akan mempunyai fundamen yang goncang dan goyah.

Begitu juga kalau iman sempit dan terbatas, maka sudah pasti islam dan ihsan akan mengikuti batas iman, tidak akan melebihi selamanya. Selama iman tidak benar, tidak kuat dan tidak luas aspek-aspeknya, maka seseorang yang mengerti agama tidak dapat membayangkan akan bisa didirikan di atasnya bangunan islam dan ihsan. Ia semestinya mementingkan lebih dahulu memperbaiki menata dan meluaskan islamnya sebelum ihsan. Akan tetapi yang banyak kita saksikan masa kini, manusia melupakan susunan yang alamiah ini, mereka tidak meperhatikannya. Mereka mendirikan bangunan ihsan yang menjulang tinggi sebelum mereka mengokohkan sendi iman, islam dan taqwa terlebih dahulu. Yang lebih menyedihkan dan memprihatinkan lagi adalah banyak orang yang menggambarkan iman dan islam dalam pikiran mereka dengan gambaran yang terbatas. Mereka mengira telah berhasil menyempurnakan islam bila mereka telah mencurahkan penampilan fisik, pakaian, duduk, berdiri, makan, minum dan amalan-amalan dhohir lainnya ke dalam suatu cetakan tertentu, kemudian mereka merasa sudah mencapai derajat ihsan yang paling tinggi bila mereka telah mengerjakan beberapa sholat sunnah, dzikir, wirid dan amalan-amalan sunnah lainnya dalam kadar tertentu, akan tetapi yang banyak kita saksikan dari kehidupan mereka yang mengaku muhsinin itu adalah adanya beberapa isyarat sebagai saksi bicara yang menunjukkan bahwa mereka belum lagi mendirikan bangunan iman di atas dasar yang kuat dan kokoh.

Selama kesalahan-kesalahan ini masih tetap ada, jangan harapkan selamanya kita akan berhasil melengkapi alat-alat yang diperlukan untuk membina moralitas islam. Dari itu mertilah kita menyempurnakan pandangan dan pemahaman tentang ketiga tingkatan moralitas islam tersebut (iman, islam dan ihsan) beserta susunannya yang alamiah.

IMAN

Setiap orang mengetahui bahwa iman itu adalah pembenaran serta pernyataan tauhid dan risalah, ( تَصْدِيْقٌ بِالْقَلْبِ وَإِقْرَارٌ بِاللِّسَانِ ) ,

jika seseorang telah mengakui keduanya maka secara hukum ia telah masuk islam dan masuk kelompok kaum mu’minin। Akan tetapi apakah cukup pernyataan semata-mata yang secara hukum sudah memenuhi syarat sebagai seorang muslim bisa dijadikan fundamental bagi kehidupan islami dengan dua tingkatanya yang lain ?

Sangat disayangkan dan memprihatinkan sekali banyak orang yang menganggap demikian, karena itu setiap kali mereka melihat adanya semata pernyataan langsung mereka dirikan bangunan amalan islam di atasnya. Demikian pulalah halnya ihsan kalau didirikan di atas dasar yang tidak kokoh, maka akan jatuh dan runtuh. Untuk mendirikan bangunan kehidupan islam yang sempurna diperlukan iman yang teguh, yang mencakup segala aspeknya dan terhunjam kuat hingga akar-akarnya tidak mudah tercabut. Jika salah satu saja dari aspek iman yang banyak itu hilang, maka kekurangan tersebut akan tetap berpengaruh kepada keutuhan bangunan islam, selama iman lemah selama itu pula bangunan kehidupan islam terancam kelemahan dan keruntuhan.

Ambil sebagai contoh iman kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang merupakan tiang pokok dan batu fundamental agama yang pertama, kita akan dapatkan bahwa bila pernyataan beriman kepada Alloh melebihi gambaran dan penguraian yang semestinya (keluar dari Qur`an Hadits), maka akan muncul beberapa versi ( pandangan) pemahaman tentang iman yang berbeda-beda dan tak terhitung banyaknya, kitabulloh dan hadits Nabi adalah sumber otentik dan universal segala urusan agama islam, yang dari padanya pulalah kita dapatkan gambaran dan penjelasan tentang ketinggian iman yang semestinya. Setiap pandangan sempit dan terbatas akan diikuti pula oleh keterbatasan shibghoh islam pada kehidupan amaliah dan moral.

Sebagai contoh, kita dapat saksikan bahwa orang-orang yang sudah mencapai iman yang tinggi sesuai dengan pandangan agama yang berkembang menganggap bahwa, menggabungkan antara taat kepada Alloh dengan tunduk patuh pada thoghut, atau mengkombinasikan sistim kufur dengan sistim islam hingga menghasilkan bentuk baku yang dapat memenuhi segala keinginan mereka, dipandang sebagai tidak melanggar batas kehidupan islami.

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ * سورة المائدة ٤٤
“Dan barang siapa yang tidak menghukumi dengan apa yang telah diturunkan oleh Alloh (karena mengingkarinya), maka mereka itulah orang-orang kafir.”

Begitu juga ukuran kekuatan iman seseorang kepada Alloh berbeda pada masing-masing pribadi, ada yang lebih mencintai Alloh dari pada sebagian hak miliknya sementara ada beberapa hal yang lebih ia cintai daripada Alloh. Adapula yang bersedia menjual tenaga dan hartanya pada jalan Alloh, tetapi sukar baginya mengorbankan pikiran, ide-idenya yang khas atau ketenaran nama yang ia dapat dari masyarakat. Inilah beberapa ukuran dan timbangan yang jelas untuk dapat membedakan mana orang yang istiqomah dengan kehidupan islam dan mana yang goyah, begitulah manusia mengkhianati moralitas islamnya dalam hal-hal yang bangunan imannya lemah dan goyah.

Sebenarnya bangunan kehidupan islam yang sempurna dan ikhlas tidak mungkin berdiri bila tidak ditopang oleh pernyataan tauhid yang mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan berjama’ah.

Kemudian bangunan ini, yaitu bangunan iman kepada Alloh tidak mungkin dapat dikokohkan tonggak-tonggaknya kecuali jika seseorang dapat meyakini dengan pasti dan menanamkan dalam jiwanya kesadaran yang sempurna bahwa ia dan semua miliknya adalah kepunyaan Alloh dan akan kembali kepadaNya dan ia jadikan segala ridlo dan marah yang ada pada dirinya diukur dengan ridlo dan marah Alloh.

قُلْ إِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِى للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ * سورة الأنعام ١٢٦
“Katakanlah : sesungguhnya sembahyangku dan ibadahku, hidupku dan matiku, hanyalah untuk Alloh Tuhan yang memelihara sekalian alam.”

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَفْضَلُ اْلأَعْمَالِ الْحُبُّ فِى اللهِ وَالْبُغْضُ فِى اللهِ * رواه أبو داود
“Lebih utamanya amal adalah cinta dalam urusan Alloh dan beci juga dalam urusan Alloh.”

Ia sesuaikan pandangan, pikiran, pendapat, kecenderungan hati dan metode berpikirnya dengan cetakan ilmu yang diwahyukan Alloh dalam kitabNya yang mulia, ia tanggalkan dari kuduknya segala belenggu konspirasi (persekongkolan) yang tidak tunduk kepada Alloh bahkan menentangnya. Ia tanamkan rasa cinta kepada Alloh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam dan ia campakkan dari lubuk hatinya segala thoghut yang menuntutnya dengan segala kekuasaan melebihi yang dikehendaki Alloh. Ia kaitkan cinta, benci, persahabatan, keinginan, perjalanan, perdamaian dan seterusnya dengan keridloan Alloh, dengan arti kata ia tidak ridlo kecuali kepada apa yang diridloi Alloh dan tidak benci kecuali kepada apa yang dibenci oleh Alloh. Demikianlah martabat dan puncak iman kepada Alloh yang sebenarnya (manisnya iman).

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ للهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِى الْكُفْرِ بعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ * رواه مسلم
“Ada tiga perkara, barang siapa yang tiga perkara tersebut ada padanya maka orang itu akan menjumpai manisnya iman yaitu, orang yang lebih mencintai Alloh Rosul daripada selain Alloh Rosul, orang yang mencintai orang lain karena Alloh dan orang yang benci pada kembali kufur setelah Alloh menyelamatkannya (dari kufur) seperti bencinya jika dia dibuang ke api.”

Yang jelas apabila iman kurang dan terbatas keluasan, kematangan dan kemantapannya dalam bentuk-bentuk yang disebutkan diatas, bagaimana mungkin akan ada ihsan ?

Kita dapat bandingkan hal yang demikian dengan iman kepada Nabi, kitab suci, hari akhirat dan seterusnya.

Sesungguhnya iman kepada Rosul tidak sempurna kecuali bila seseorang meyakini bahwa Rosul sebagai pemimpin dan pembimbingnya, mengikuti petunjuknya, menjadikannya sebagai teladan dalam segala urusan kehidupan, dan menolak segala kepatuhan, bimbingan dan petunjuk yang bertentangan dengan petunjuknya atau yang terlepas darinya.

Begitu juga iman kepada kitab suci tetap kurang selama di hati masih ada kotoran berupa kepuasan hati tunduk pada pokok-pokok dan prinsip kehidupan yang tidak sesuai dengan kitabulloh, atau tidak ada keresahan di hati dan jiwa bila aturan-aturan di dunia tidak mengikuti apa yang diwahyukan Alloh dan tidak mengambilnya sebagai sistim kehidupan di dunia.

Begitu juga tidak sempurna iman kepada akhirat selama seseorang masih belum rela mengutamakan akhirat dari dunia, dan belum mau menolak nilai-nilai duniawi bila bertentangan dengan nilai-nilai ukhrowi, serta tidak mempunyai rasa tanggung jawab ukhrowi di setiap langkah yang diempuhnya didalam kehidupan duniawi.

Kalau fundamen dan tiang-tiang pokok ini tidak ada, bagaimana mungkin kehidupan islam akan dapat ditegakkan?

Tatkala manusia menganggap bahwa bangunan moralitas islam bisa berdiri tanpa menyempurnakan dan mengokohkan tiang-tiang pokok ini maka saat itu pula segala urusan terpulang kepada mereka.

ISLAM

Bila fundamen dan tiang-tiang iman yang disebutkan diatas telah mengakar sempurna dan mendapat tempat yang layak maka bangunan islam yang merupakan tingkatan moralitas islam kedua dapat berdiri di atasnya.

Islam itu tidak lain adalah refleksi iman dalam bentuk amalan.

لَيْسَ الإِيْمَانُ بِالتَّمَنِّى وَلاَبِالتِّحِّلِى وَلَكِنْ هُوَ مَا وَقَرَ فِى الْقَلْبِ وَصَدَّقَةُ الْعَمَلُ ٭ رواه ابن النار
“Keimanan bukanlah sekedar angan-angan dan juga bukan sekedar hiasan semata tetapi keimanan adalah sesuatu yang menetap di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.”

Hubungan iman dengan islam tak ubahnya seperti hubungan bibit dengan pohon. Pohon tidak tumbuh kecuali sesuai dengan bibit yang ditanam, dan tidak pernah kita bayangkan selamanya bahwa satu pohon dapat tumbuh dan menjulang tinggi tanpa menanam bibitnya terlebih dahulu di tanah, atau sebaliknya kita tidak dapat membayangkan bahwa satu pohon tidak akan tumbuh dan berbuah kalau bibitnya sudah ditanam di tanah yang subur.

Begitu pulalah antara iman dan islam, refleksi iman seseorang tentu akan terlihat alam kehidupan amaliyahnya, pergaulan dengan manusia, usahanya menghubungkan atau memutuskan silaturrohim, arah usaha, kiprah (kegiatan), kecenderungan watak, perasaan, pengaturan waktu, kekuatan dan kemampuan dan aspek kehidupan lainnya.

Jika salah satu aspek dari aspek-aspek tersebut tidak islami, maka ketahuilah bahwa iman tidak ada pada aspek tersebut, jikapun ada ia tidak punya kekuatan dan daya hidup, jika seluruh kehidupan amaliyahnya berjalan tidak secara islam, maka ketahuilah bahwa hatinya kosong dari iman.

Buminya memang sudah demikian gersang, hingga bibit iman tidak menghasilkan buah, tetapi yang kita yakini dan kita merasa pasti dengan keyakinan itu sesudah Alloh mentakdirkan kita dapat menelaah dan mempelajari kitabNya dan sunnah Rosul adalah, bahwa mustahil iman yang ada di hati tidak merefleksikan amalan yang islami. Di dalam kitab suci Al-Qur`an diterangkan dengan jelas bahwa iman yang bersifat iktikad berkaitan erat dengan islam yang bersifat amaliyah.

Alloh sering menyebut kalimat amal sesudah kalimat iman di dalam ayat suci Al-Qur`an, dan Alloh tidak menjanjikan balasan dan pahala yang baik kecuali kepada hamba-hambanya yang mu’min dalam iktikad dan muslimin dalam amalan.

Dan di dalam Al-Qur`an dijelaskan juga bahwa Alloh tatkala menghukum orang-orang munafik, menjadikan amalan mereka yang jahat sebagai bukti tidak adanya iman mereka, begitu pula Alloh menjadikan amalan yang islami sebagai bukti iman yang sebenarnya. Yang ditelaah disini hanyalah manfaat dan mudlorot tentang iman dan islam bagi orang yang memilikinya di hadapan Alloh nanti di hari kiamat, karena dari iman dan islam itulah nanti ditentukan hasil-hasilnya di akhirat.

Kalau kita cermati dengan pandangan yang hakiki / berdasar dalil dan realitas, akan kita dapatkan bahwa, setiap kali seorang ditimpa penyakit yang menghambatnya untuk menyerahkan diri dan amal perbuatannya untuk Alloh, setiap kesukaannya yang berlawanan dengan keridloan Alloh, setiap kali dia terjerumus ke dalam amal usaha yang tidak bertujuan menegakkan agama Alloh dan setiap kali dia berusaha dan berjuang bukan karna Alloh, maka setiap kali itu pula imannya semakin kurang dan bertambah lemah.

Oleh karena itu jelaslah bahwa bangunan ihsan tidak mungkin didirikan di atas fundamen iman dan islam yang tidak kokoh, walaupun dia berusaha sekuat tenaga meniru penampilan dan pakaian para muttaqin serta berusaha melakukan sebagian yang dilakukan mereka.

Potret luar jika kosong dari roh yang sebenarnya tak ubahnya seperti seorang laki-laki yang ganteng, sesudah meninggal jasadnya masih utuh dengan pakaian yang gemerlapan, sekalipun mulanya kita tertipu dengan bentul lahir jasad yang tergeletak di bumi itu dan kita menggantungkan harapan dengannya, namun tidak lama kemudian akan tahu yang sebenarnya.

Dengan mudah anda dapat menipu diri anda dengan potret luar yang menarik, akan tetapi anda tidak mungkin meninggalkan pengaruhnya di alam realitas, atau anda tidak mungkin mencapai timbangan apapun di daun timbangan Alloh di hari kiamat nanti. Jika anda tidak tertipu dengan bentuk lahir dan tidak menginginkan kecuali ihsan yang sebenarnya yang bermanfaat kepada anda dalam meninggikan kalimat agama Alloh di dunia dan memenangkan timbangan kebaikan di akhirat, maka ketahuilah dengan yakin bahwa tingkatan ihsan yang tinggi tidak mungkin dapat dinaikkan kecuali dengan fundamen iman yang kokoh kuat disertai islam dalam amalan yaitu taat dan tunduk pada Alloh secara amaliah sebagai buktinya.

IHSAN

Ihsan yang merupakan tingkatan moralitas islam yang paling tinggi dan paling bernilai pada hakikatnya adalah hubungan hati dengan Alloh, serta cinta yang mendalam, kesetiaan yang benar dan kesediaan berkorban denga n harta dan jiwa; yang membuat seseorang menyatu dalam islam.

Taqwa yang sebenarnya adalah: Bila hati seseorang disinari oleh rasa dan kesadaran beribadah kepada Alloh SWT ia mempunyai kesadaran yang tinggi bahwa nanti di hari kiamat ia akan berdiri di hadapan Tuhan mempertanggungjawabkan semua amalannya. Ia benar-benar menghayati bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah medan tempat ujian, bahwa Alloh telah mengutus dan memberinya peluang sampai masa yang tertentu, masalah masa depannya yang abadi hanya tergantung pada satu hal yaitu, bagaimana caranya supaya ia dapat menggunakan segala kekuatan dan kemampuannya yang berbeda-beda dalam medan ini untuk menghadapi ujian tersebut. Bagaimana caranya supaya tindakan yang diambilnya yang berhubungan dengan harta dan kesenangan yang diberikan Alloh dapat berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan dan bagaimana cara bergaulnya dengan segala pihak yang berhubungan dengan kehidupannya. Setiap orang yang memiliki perasaan dan kesadaran seperti ini hatinya akan menolak segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kecintaan kepada Alloh bahkan ia akan menghisab dirinya ; kemana ia habiskan waktunya, untuk apa dia gunakan segala kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya, ia memulai menahan dirinya supaya tidak jatuh kepada hal-hal yang musytabihat, apalagi yang sudah jelas terlarang. Kesadaran yang ada dalam dirinya memaksa untuk patuh dan taat melaksanakan semua perintah dan kewajiban, ia lebih mengutamakan cintanya kepada Alloh dan cinta itu sangat berpengaruh kepada dirinya, ia menjadi terbiasa memelihara hak-hak Alloh dan hak-hak hambanya di bumi dan hatinya gentar melakukan sesuatu yang melanggar hak dan kebenaran. Dari sebab pengaruh dalam hidup yang lurus dan moral yang suci bersih, tidak akan tumbuh kecuali segala sesuatu yang bersih pula.

Jika kita sudah menghayati hakikat taqwa yang dalam ihsan ini, maka marilah kita amati tentang orang-orang yang walaupun sudah melihat dengan mata kepala sendiri bahwa agama Alloh telah dihina dan dikalahkan oleh kekufuran dan para pengikutnya, ketentuan-ketentuan Alloh bukan hanya saja ditentang dan dilanggar bahkan sudah hampir tidak ada, hampir hilang dikalahkan oleh kekufuran, syari’at Alloh dilalaikan dan diremehkan bukan dari segi amalan saja, tetapi juga perundang-undnagannya, bumi Alloh telah dikuasai oleh musuh-musuh Alloh, masyarakat manusia secara umum dilanda oleh kejatuhan moral dan kehidupan sipil di bawah sistim kufur, bahkan umat islam sendiri telah terhina dan selalu dihina dengan kesesatan-kesesatan, kejatuhan moral dan amal perbuatan yang tercela yang merambat dengan cepat walaupun mereka menyaksikan semuanya itu dan mereka merasakannya setiap saat, tetapi belum juga mereka merasa disusahkan oleh kehidupan yang demikian. Bahkan belum juga berdenyut urat nadi ghiroh (kepedulian) mereka untuk bangkit berusaha merubah keadaan yang memalukan itu dengan kehidupan yang lebih baik.

Yang terjadi justru sebaliknya, mereka selalu berusaha dengan menggunakan segala kepintaran dan kepandaian mereka menenangkan kaum muslimin baik secara prinsip maupun amaliah untuk puas atas kekuasaan sistim kufur terhadap mereka.

Bagaimana mungkin orang-orang seperti itu dimasukkan ke dalam golongan para muhsinin? Bagaimana mungkin mereka akan dapat mencapai martabat ihsan yang tinggi di tengah-tengah penghinaan besar terhadap perintah Alloh? Apakah mereka disebut muhsinin karena semata-mata mereka sholat malam, sholat dluha, menghabiskan umur mereka dengan dhikir wirid, dan dendang-dendang sufi, mencurahkan perhatian pada masalah-masalah furu’/fiqih, akan tetapi tidak mencakup inti dan kekuatan agama yaitu tidak mau menyerah kepada kekuasaan selain kekuasaan Alloh, sedia berjuang mengorbankan jiwa dan harta untuk menegakkan agama dan meninggikan kalimat al-haq?

Ada segi lain dimana mereka sangat lengah dengan masalah-masalah pokok agama yang mendasar dan menyeluruh, sampai-sampai mereka menjadikan kehidupan kaum muslimin berdiri di atas rukhshoh dan kepentingan politik. Yang mereka usahakan dan perhatikan sungguh-sungguh adalah bagaimana menggambarkan bagi kaum muslimin khittah kehidupan islam di bawah kekuasaan kufur dengan segala sistimnya.

Mereka berlepas diri dari segala tuntutan agama, walaupun mereka hidup dikuasai oleh sistim yang tidak islamis, bahkan sekalipun mereka menjadi hamba yang mengabdikan diri untuk sistim yang tidak islamis tersebut. Bahkan lebih dari itu yang mengundang tangis dan sesalan ialah, jika ada seseorang memberanikan diri tampil mengemukakan kepada kaum muslimin tuntutan agama yang sebenarnya seraya berusaha mengalihkan perhatian kaum muslimin kepada usaha menegakkan agama yang benar, maka mereka bukan saja memalingkan pipi mereka, mereka tidak memberikan perhatian dan bantuan, tetapi malah berusaha mematahkan semangat kaum muslimin hingga mundur dengan sendirinya, bahkan menghalangi orang lain untuk membantunya. Dan hampir tidak ada orang-orang yang memahami agama, meragukan kesempurnaan taqwa mereka.

طُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ فَقِيْلَ مَنِ الْغُرَبَاءُ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ أُنَاسٌ صَالِحُوْنَ فِى أُنَاسٍ سُوْءٍ كَثِيْرٍ مَنْ يَعْصِيْهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيْعُهُمْ * رواه أحمد
“Beruntunglah orang-orang yang asing, kemudian ditanyakan : siapakah orang yang asing itu ya Rosulalloh? Jawab beliau : orang-orang yang sholih di kalangan masyarakat banyak yang jelek, orang yang menentang pada mereka lebih banyak daripada orang yang mengikuti.”

Yang perlu mendapatkan pemahaman dan yang menjadi pokok yang menentukan adalah memahami hakikat taqwa, bukan kulit luarnya.

Setiap orang yang di hatinya tumbuh dan mengakar hakikat taqwa, maka hatinya tersebut telah tercelup dengan shibghoh yang murni dan istiqomah, dengan demikian kehidupan islamnya pun menjadi murni. Islam syari’ah yang sempurna selalu muncul sedikit demi sedikit dalam pikiran, perasaan, bakat, kepribadian, pembagian waktu, penggunaan kekuatan, jalan usaha dan kiprahnya (kegiatannya) cara hidup, cara mencari rezeki dan penggunaannya dan aspek hidup lainnya. Tetapi apabila masalahnya anda balikkan, artinya anda lebih mengutamakan aspek luar daripada hakikat dan memberikan perhatian yang berlebihan pada aspek tersebut serta anda berkeberatan mengerjakan kecuali sebagian dari hukum dan perintah yang bersifat lahir dengan cara yang tidak wajar tanpa ada usaha anda menanam benih taqwa yang sebenarnya di bumi dan rajin menyiramnya dengan teratur, maka anda tidak akan mendapatkan hasilnya kecuali kekecewaan dan frustasi.

Perbedaan antara teman yang setia dan yang khianat (musuh) seperti ini hampir terdapat di setiap negara dan umat di dunia ini. Jika satu bangsa misalnya, di suatu negara diancam oleh musuh dari luar, maka orang-orang yang memberikan kesempatan kekuasaan musuh atau yang mau menerima mereka dengan suka rela dan membuat perjanjian dengan mereka dengan syarat-syarat yang tetap menghinakan mereka atau mereka membentuk suatu pemerintahan di bawah pengawasan musuh, terutama hal-hal yang sangat penting dan yang menyangkut harta kekayaan negara tetap di bawah kekuasaan musuh, lalu mereka puas dengan keadaan yang demikian, disamping mereka mendapat hak-hak dan kebebasan yang bersifat juziyat (bagian), maka anda tidak akan menemui satu negara atau satu umatpun di atas dunia ini yang menganggap orang-orang yang condong dan berpihak kepada musuh seperti itu adalah orang-orang yang ikhlas, jujur dan benar, sekalipun mereka berpakaian sangat nasionalis dan mengikuti undang-undang nasional yang berhubungan urusan kehidupan mereka.

Dengan memperhatikan gambaran keadaan tersebut diatas, maka jika kita mencermati Al-Qur`an dan sunnah Rosul, telah digariskan suatu prinsip perjuangan menegakkan agama haq yang tidak tercemar oleh sifat kolaborasi (kerja sama) maupun loyalisasi (kesetiaan) dengan sistim kekufuran.

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ * سورة البقرة ٢٥٦
“Maka barang siapa yang tidak mempercayai thoghut dan beriman kepada Alloh, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang kuat yang tidak akan putus. Dan (ingatlah), Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Jika anda cermati dengan teliti kerusakan dan kemungkaran yang bertebar di dunia ini, hingga diutusnya para nabi dan rosul untuk menghapus dan melenyapkannya adalah, bahwa telah terjadi penyelewengan umat manusia dari ibadah dan taat kepada Alloh dengan kepatuhan mereka mengikuti thoghut serta tidak adanya rasa tanggung jawab mereka di hadapan Alloh kelak di hari akhirat.

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فى كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ اعْبُدُوْا اللهَ وَاجْتَنِبُوْا الطَّاغُوْتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَلاَلَةُ فَسِيْرُوْا فِى اْلأَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ * سورة النحل ٣٦
“Dan sungguh Kami telah mengutus di dalam kalangan tiap-tiap umat seorang rosul (dengan memerintahkannya menyeru mereka) : hendaklah kalian menyembah Alloh dan jauhilah thoghut, maka diantara mereka (yang menerima seruan rosul itu) ada yang diberi hidayah petunjuk oleh Alloh dan ada pula yang berhak ditimpa kesesatan. Karena itu mengembaralah kalian di bumi.”

Hal itulah yang menyebabkan timbulnya antara lain kurun kerusakan moral, kehidupan umat manusia dikuasai oleh prinsip-prinsip pokok yang salah dan menyesatkan, dan kemaksiatan merajalela di barat dan di timur. Yang menjadi tujuan diutusnya para rosul dan nabi adalah untuk menumbuhkan kembali jiwa ibadah dan taat kepada Alloh serta rasa tanggung jawab mereka nanti di hari kiamat di hadapan Alloh, meningkatkan moralitas utama, dan mendirikan sistim kehidupan manusia dengan dasar dan tonggak yang dapat menumbuhkan kebaikan dan menghapus bayang-bayang serta menurunkan panji-panji kerusakan kejahatan. Inilah satu-satunya tujuan diutusnya para rosul dan nabi, dan untuk itu pulalah datang terakhir sekali khotamun nabiyyin, penghulu para nabi yaitu, Muhammad bin Abdulloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam.

Perhatikanlah sebentar bagaimana Nabi Muhammad Shllallohu ‘Alaihi Wasallam berusaha dengan cara bertahap mencapai tujuan tersebut. Pertama dan utama sekali sebelum segala sesuatunya, beliau mengajak manusia untuk beriman dan memantapkannya di dalam hati mereka serta menjelaskan kaidah-kaidahnya secara luas dan mendalam. Kemudian secara bertahap sesuai dengan kadar iman tumbuhlah dari orang-orang yang beriman dengan ajaran dan pendidikannya, kekuatan amaliah (baca : islam), kesucian moral (baca : taqwa), cinta dan kepatuhan kepada Alloh (baca : ihsan). Seterusnya dengan usaha yang terorganisi dan berkesinambungan dari orang-orang yang beriman lagi ikhlas, Rosululloh berhasil meruntuhkan sistim jahiliyah lama yang rusak dan menggantinya dengan sistim yang baik, sistim yang berdiri di atas landasan moral dan sipil yang bersumber dari undang-undang Illahi yang diturunkan Alloh SWT. Demikianlah hubungan sinergis diantara ketiga moralitas islam dengan resultat terbentuknya suatu masyarakat madani / civil society dengan prespective syari’ah.

____

Tidak ada komentar: