Minggu, 23 Mei 2010

Biografi Ibnu Majah

Ulama Tafsir, Hadits dan Ahli sejarah dari Qazwin
Sebelum kita menilik lebih lanjut seputar Al-Quran dan hadits, ada baiknya kalau kita mengetahui lebih dahulu biografi para muhaddits, karena berkat kegigihan merekalah kita sekarang dapat mengetahui hukum dan mempelajari As-Sunnah dengan metodologi yang baik. Dunia Islam boleh tersenyum kembali pada beberapa abad yang lalu, pasalnya pada dekade ini telah lahir enam para muhaddits besar yang telah memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi peradaban Islam. Diantaranya adalah imam Ibnu Majah, ulama yang terkenal jujur ini ternyata sangat berperan aktif dalam dakwah Islam.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau termasuk dari ulama besar Islam karena kredibilitas dan loyalitasnya pada ilmu pengetahuan Islam yang sangat tinggi. Sehingga beliau termasuk dari pengarang Kutubu As-Sittah yang sangat monumental sampai sekarang.

Nama Lengkap, Kelahiran dan Wafatnya
Di suatu hari tepatnya pada tahun 207 H / 209 H. s/d 273 H = (824 M / 826 M s/d 887 M ) Allah menurunkan anugerahnya kepada rakyat daerah Qazwin, karena di tempat itulah seorang imam yang jujur dan cerdas dilahirkan. Imam itu adalah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Ar-Rabî'î bin Majah Al-Qazwinî Al-Hâfidz, namun imam tersebut dengan sebutan Ibnu Majah. Sebutan Majah ini dinisbatkan kepada ayahnya Yazid, yang juga dikenal dengan sebutan Majah Maula Rab'at. Ada juga yang mengatakan bahwa Majah adalah ayah dari Yazid. Walaupun demikian, tampaknya pendapat pertama yang lebih valid.
Kata "Majah" dalam nama belia adalah dengan huruf "ha" yang dibaca sukun; inilah pendapat yang sahih yang dipakai oleh mayoritas ulama, bukan dengan "ta" (majat) sebagaimana pendapat sebagian orang. Kata itu adalah gelar ayah Muhammad, bukan gelar kakeknya, seperti diterangkan penulis Qamus jilid 9, hal. 208. Ibn Katsr dalam Al-Bidayah wan-Nibayah, jilid 11, hal. 52.
Beliau mulai menginjakkan kakinya di dunia pendidikan sejak usia remaja, dan menekuni pada bidang hadits sejak menginjak usia 15 tahun pada seorang guru yang ternama pada kala itu, yaitu Ali bin Muhammad At-Tanafasy (wafat tanggal 233 H). Bakat dan minat yang sangat besar yang dimilikinyalah yang akhirnya membawa beliau berkelana ke penjuru negeri untuk menelusuri ilmu hadits. Sepanjang hayatnya beliau telah mendedikasikan pikiran dan jiwanya dengan menulis beberapa buku Islam, seperti buku fikih, tafsir, hadits, dan sejarah. Dalam bidang sejarah beliau menulis buku "At-Târîkh" yang mengulas sejarah atau biografi para muhaddits sejak awal hingga masanya, dalam bidang tafsir beliau menulis buku "Al-Qur'ân Al-Karîm” dan dalam bidang hadits beliau menulis buku "Sunan Ibnu Majah". Disayangkan sekali karena buku "At-Târîkh" dan "Al-Qur'ân Al-Karîm" itu tidak sampai pada generasi selanjutnya karena dirasa kurang monumental.
Suatu hari umat Islam di dunia ditimpa ujian, kesedihan menimpa kalbu mereka. Karena setelah memberikan kontribusi yang berarti bagi umat, akhirnya sang imam yang dicintai ini dipanggil oleh yang Maha Kuasa pada hari Senin tanggal 22 Ramadhan 273 H/887 M. Almarhum dimakamkan hari Selasa di tanah kelahirannya Qazwîn, Iraq.
Ada pendapat yang mengatakan beliau meninggal pada tahun 275 H, namun pendapat yang pertama lebih valid.
Walaupun beliau sudah lama sampai ke finish perajalanan hidupnya, namun hingga kini beliau tetap dikenang dan disanjung oleh seluruh umat Islam dunia. Dan ini adalah bukti bahwa beliau memang seorang ilmuan sejati.

Perjalanan Menuntut Ilmu
Sama halnya dengan para imam-imam terdahulu yang gigih menuntut ilmu, seorang imam terkenal Ibnu Majah juga melakukan perjalanan yang cukup panjang untuk mencari secercah cahaya ilmu Ilahi, karena ilmu yang dituntut langsung dari sumbernya memiliki nilai lebih tersendiri daripada belajar di luar daerah ilmu itu berasal. Oleh sebab itu beliau sudah melakukan rihlah ilmiyah-nya ke beberapa daerah; seperti kota-kota di Iraq, Hijaz, Syam, Pârs, Mesir, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Damaskus, Ray (Teheran) dan Konstatinopel.
Dalam pengembaraannya beliau bertemu banyak guru yang dicarinya, dari merekalah nantinya ia menggali sedalam-dalamnya ilmu pengetahuan dan menggali potensinya. Rihlah ini akhirnya menghasilkan buah yang sangat manis dan bermanfaat sekali bagi kelangsungan gizi umat Islam, karena perjalanannya ini telah membidani lahirnya buku yang sangat monumental sekali, yaitu kitab "Sunan Ibnu Majah".

Para Guru dan Murid Imam Ibnu Majah
Dalam perjalanan konteks rihlah ilmiyah-nya ternyata banyak para syeikh pakar yang ditemui sang imam dalam bidang hadits; diantaranya adalah kedua anak syeikh Syaibah (Abdullah dan Usman), akan tetapi sang imam lebih banyak meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Abi Syaibah. Dan juga Abu Khaitsamah Zahîr bin Harb, Duhîm, Abu Mus'ab Az-Zahry, Al-Hâfidz Ali bin Muhammad At-Tanâfasy, Jubârah bin Mughallis, Muhammad bin Abdullah bin Numayr, Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin Adam dan para pengikut perawi dan ahli hadits imam Malik dan Al-Lays.
Seperti dikatakan pepatah "Ilmu yang tak diamalkan bagaikan pohon yang tak berbuah", bait syair ini sarat makna yang luas. Walaupun pohon itu indah dan tegar, namun kalau tidak bisa mendatangkan manfaat bagi yang lain maka tidak ada maknanya, seorang penuntut ilmu sejati biasanya sangat senang sekali untuk men'transfer' ilmunya kepada orang lain, karena dengan seringnya pengulangan maka semakin melekatlah dalam ingatan. Bak kata pepatah lagi "Ala bisa karena biasa". Oleh sebab itu, sang imam inipun giat dalam memberikan pelajaran bagi murid-murid yang patut untut diacungi jempol.
Diantara murid yang belajar padanya adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ibrahim Al-Qatthân, Sulaiman bin Yazid, Abu Ja'far Muhammad bin Isa Al-Mathû'î dan Abu Bakar Hamid Al-Abhâry. Keempat murid ini adalah para perawi Sunan Ibnu Majah, tapi yang sampai pada kita sekarang adalah dari Abu Hasan bin Qatthân saja.
Sanjungan Para Ulama Terhadap Imam Ibnu Majah
Berkat istiqamah dan kegigihannya dalam dunia pendidikan, ditambah lagi ketekunannya dalam disiplin hadits; maka wajar apabila beliau termasuk ulama yang paling disegani pada masanya. Dan tak heran apabila beliau sering mendapatkan penghargaan yang tinggi dan sanjungan dari ulama-ulama selainnya. Abu Ya'la Al-Kahlily Al-Qazwîny berkata : "Imam Ibnu Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dan dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya, ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadits".
Sanjungan yang senada banyak juga yang menyampaikannya pada beliau, seperti Abu Zar'ah Ar-Râzî dan Zahaby dalam bukunya "Tazkiratu Al-Huffâdz" mengilustrasikannya sebagai ahli hadits besar dan mufassir, pengarang kitab Sunan dan tafsir, serta ahli hadits kenamaan negerinya.
Kejujuran, kecerdasan dan pengetahuannya yang sangat luas telah menobatkan beliau menjadi ulama ternama. Seorang penuntut ilmu yang cerdas tidak ada artinya apabila tidak memiliki keindahan akhlak, tetapi seorang penuntut ilmu tadi akan lebih terhormat dan mulia pula. Karena akhlak mulia adalah simbol atau refleksi dari ilmu yang dimilikinya. Statement ini diperkuat dengan kalam Allah dalam Al-Quran : "…Allah meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dengan beberapa derajat, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan".
Seorang mufassir dan kritikus hadits besar yang bernama Ibnu Kasir dalam karyanya "Al-Bidâyah" mengatakan : "Muhammad bin Yazid (Ibnu Majah) adalah pengarang kitab Sunan yang masyhur. Kitabnya itu bukti atas ilmu dan amalnya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta kredibilitas dan loyalitasnya terhadap hadits dan ushûl serta furû'." Begitulah sebahagian kecil sanjungan yang diterima Ibnu Majah selama ini. Semoga Allah menyertakan beliau termasuk golongan orang-orang yang dibanggakan-Nya di hadapan malaikat-malaikat-Nya.

Karya-karyanya
Imam Ibn Majah mempunyai banyak karya tulis, di antaranya:
1. Kitab As-Sunan, yang merupakan salah satu Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadits yang Pokok).
2. Kitab Tafsir Al-Qur'an, sebuah kitab tafsir yang besar manfatnya seperti diterangkan Ibn Kasir.
3. Kitab Tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibn Majah.
Metodologi Imam Ibnu Majah
Kalau kita berbicara seputar metodologi yang dianut oleh imam Ibnu Majah dalam pengumpulan dan penyusunan hadits, maka seyogianyalah kita untuk mengulas dan menilik lebih lanjut dari metode sang imam dalam menyusun kitab "Sunan Ibnu Majah". Karena buku yang digunakan sebagai salah satu referensi bagi umat Islam ini adalah buku unggulan beliau yang populer sepanjang sekte kehidupan. Walaupun beliau sudah berusaha untuk menghindarkannya dari kesalahan penulisan, namun sayang masih terdapat juga hadits-hadits yang dho'îf bahkan maudû' di dalamnya.
Dalam menulis buku Sunan ini, beliau memulainya terlebih dahulu dengan mengumpulkan hadits-hadits dan menyusunnya menurut kitab atau bab-bab yang berkenaan dengan masalah fiqih, hal ini seiring dengan metodologi para muhadditsîn yang lain.
Setelah menyusun hadits tersebut, imam Ibnu Majah tidak terlalu memfokuskan ta'lîqul Al-Hadits yang terdapat pada kitab-kitab fikih tersebut, atau boleh dikatakan beliau hanya mengkritisi hadits-hadits yang menurut hemat beliau adalah penting.
Seperti kebanyakan para penulis kitab-kitab fikih yang lain, dimana setelah menulis hadits mereka memasukkan pendapat para ulama fâqih setelahnya, namun dalam hal ini Ibnu Majah tidak menyebutkan pendapat para ulama fâqih setelah penulisan hadits.
Sama halnya dengan imam Muslim, imam Ibnu Majah ternyata juga tidak melakukan pengulangan hadits berulang kali kecuali hanya sebahagian kecil saja dan itu penting menurut beliau.
Ternyata kitab Sunan ini tidak semuanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah seperti perkiraan orang banyak selama ini, tapi pada hakikatnya terdapat di dalamnya beberapa tambahan yang diriwayatkan oleh Abu Al-Hasan Al-Qatthany yang juga merupakan periwayat dari "Sunan Ibnu Majah". Persepsi ini juga sejalan pada "Musnad Imam Ahmad", karena banyak orang yang menyangka bahwa seluruh hadits di dalamnya diriwayatkan seluruhnya oleh beliau, akan tetapi sebahagian darinya ada juga yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Imam Ahmad dan sebahagian kecil oleh Al-Qathî'î, namun imam Abdullah lebih banyak meriwayatkan dibanding dengan Al-Qathî'î. Namun dalam pembahasan kali ini kita kita tidak berbicara banyak seputar "Musnad Imam Ahmad", karena biografi dan metodologi beliau telah diulas pada diskusi sebelumnya.
Ketika Al-Hasan Al-Qatthâny mendapatkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Sya'bah dengan perantara perawi lainnya, dan pada hadits yang sama juga beliau mendapatkan perawi selain gurunya Ibnu Majah, maka hadits ini telah sampai pada kategori hadits Uluwwu Al-Isnâd meskipun beliau hanya sebatas murid dari sang imam Ibnu Majah, namun derajatnya sama dengan gurunya dalam subtansi Uluwwu Al-Hadîts tersebut, ada juga berhasil disusun oleh sang imam dengan uraian sebanyak 32 kitab menurut Zahaby, dan 1500 bab menurut Abu Al-Hasan Al-Qatthâny serta 4000 hadits.

Sekilas Tentang Kitab "Sunan Ibnu Majah”
Kitab "Sunan Ibnu Majah” adalah kitab yang termasuk kategori Kutubu As-Sittah, sebelum kita menelaah lebih dalam lagi tentang buku ini, ada baiknya terlebih dahulu untuk membedah data buku monumental ini. Agar kita lebih terkesan dan tertarik lagi untuk mengintervensikan diri kita pada bidang hadits.
Buku hadits yang dikarang oleh Imam Ibnu Majah ini dikenal dengan nama "Sunan Ibnu Majah”. Karena termasuk buku yang telah menyita perhatian bagi umat Islam, sehingga Abu Al-Hasan Muhammad Shâdiq bin Abdu Al-Hady As-Sanady (wafat tahun 1138) pun mendedikasikan pikirannya untuk men-syarah buku ini yang kemudian akhirnya di-ta'lîq oleh Fuad Abdu Al-Bâqy.
Kitab ini memiliki keistimewaan yang patut diberikan applause, berkat kegigihan imam Ibnu Majah dalam menciptakan karya yang terbaik dan bermanfaat bagi Muslim sedunia, dapat kita lihat bahwa buku ini memiliki susunan yang baik dan tidak ada pengulangan hadits yang serupa kecuali memang dianggap penting oleh sang Imam. Shiddîq Hasan Khân dalam kitab 'Al-Hittah' berkata, "Tidak ada 'Kutubu As-Sittah' yang menyerupai seperti ini (baca : Kitab "Sunan Ibnu Majah"), karena ia menjaga sekali adanya pengulangan hadits-hadits, walaupun ada itupun hanya sebahagian kecil saja. Seperti imam Muslim R.A. halnya yang mendekati buku ini. Dimana beliau tidak mengadakan pengulangan hadits dalam beberapa sub judul kitab, tapi beliau mengulang hadits tersebut dalam hanya dalam satu judul.
Buku "Sunan Ibnu Majah" terdiri dari 32 (tiga puluh dua) kitab menurut Al-Zahabî, dan 1500 (seribu lima ratus) bab menurut Abu Al-Hasan Al-Qatthanî, dan terdiri dari 4000 (empat ribu) hadits menurut Az-Zahabî. Tapi kalau kita teliti ulang lagi dengan melihat buku yang di-tahqîq oleh Muhammad Fuad Abdul Bâqî rahimahullah, bahwa buku ini berjumlah 37 (tiga puluh tujuh) kitab selain dari muqaddimah, berarti kalau ditambah dengan muqaddimah maka jumlahnya 38 (tiga puluh delapan) kitab. Sedangkan jumlah babnya terdiri dari 1515 (seribu lima ratus lima belas) bab dan 4341 (empat ribu tiga ratus empat puluh satu) hadits. Hal ini disebabkan akibat adanya perbedaan nasakh. Kitab hadits yang terdiri dari 4341 (empat ribu tiga ratus empat puluh satu) hadits ini ternyata 3002 (tiga ribu dua) hadits diantaranya telah di-takhrîj oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan yang lainnya. Dan 1239 (seribu dua ratus tiga puluh sembilan) hadits lagi adalah tambahan dari Imam Ibnu Majah.
Klasifikasi hadits tersebut adalah :
 Empat ratus tiga puluh delapan hadits diriwayatakan oleh para rijâl yang terpercaya dan sanadnya shahih.
 Seratus sembilan puluh sembilan hadits sanadnya adalah hasan
 Enam ratus tiga belas hadits sanadnya dho'îf
 Sembilan puluh sembilan hadits sanadnya adalah mungkar, wâhiah dan makzhûbah
Kedudukan Sunan Ibn Majah di antara Kitab-kitab Hadits
Sebagian ulama tidak memasukkan Sunan Ibn Majah ke dalam kelompok "Kitab Hadits Pokok" mengingat derajat Sunan ini lebih rendah dari kitab-kitab hadits yang lima.
Sebagian ulama yang lain menetapkan, bahwa kitab-kitab hadits yang pokok ada enam kitab (Al-Kutubus Sittah/Enam Kitab Hadits Pokok), yaitu:
1. Sahih Bukhari, karya Imam Bukhari.
2. Sahih Muslim, karya Imam Muslim.
3. Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud.
4. Sunan Nasa'i, karya Imam Nasa'i.
5. Sunan Tirmizi, karya Imam Tirmizi.
6. Sunan Ibn Majah, karya Imam Ibn majah.
Ulama pertama yang memandang Sunan Ibn Majah sebagai kitab keenam adalah al-Hafiz Abul-Fardl Muhammad bin Tahir al-Maqdisi (wafat pada 507 H) dalam kitabnya Atraful Kutubus Sittah dan dalam risalahnya Syurutul 'A'immatis Sittah.
Pendapat itu kemudian diikuti oleh al-Hafiz 'Abdul Gani bin al-Wahid al-Maqdisi (wafat 600 H) dalam kitabnya Al-Ikmal fi Asma' ar-Rijal. Selanjutnya pendapat mereka ini diikuti pula oleh sebagian besar ulama yang kemudian.
Mereka mendahulukan Sunan Ibn Majah dan memandangnya sebagai kitab keenam, tetapi tidak mengkategorikan kitab Al Muwatta' karya Imam Malik sebagai kitab keenam, padahal kitab ini lebih sahih daripada Sunan Ibn Majah, hal ini mengingat bahwa Sunan Ibn Majah banyak zawa'idnya (tambahannya) atas Kutubul Khamsah. Berbeda dengan Al-Muwatta', yang hadits-hadits itu kecuali sedikit sekali, hampir seluruhnya telah termuat dalam Kutubul Khamsah.
Di antara para ulama ada yang menjadikan Al-Muwatta' susunan Imam Malik ini sebagai salah satu Usulus Sittah (Enam Kitab Pokok), bukan Sunan Ibn Majah.
Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah Abul Hasan Ahmad bin Razin al-Abdari as-Sarqisti (wafat sekitar tahun 535 H) dalam kitabnya At-Tajrid fil Jam'i Bainas-Sihah. Pendapat ini diikuti oleh Abus Sa'adat Majduddin Ibnul Asir al-Jazairi asy-Syafi'i (wafat 606 H). Demikian pula az-Zabidi asy-Syafi'i (wafat 944 H) dalam kitabnya Taysirul Wusul.
Oleh sebab itu buku ini dianggap istimewa disebabkan isinya mayoritas diisi dengan hadits yang shahih, sedangkan hadits yang mungkar dan wâhiah hanya sedikit.
Menurut syeikh Al-Bâny, dalam sunan ini terdapat sekitar delapan ratus hadits yang masuk dalam kategori hadits dho'îf.
Kesalahan dan kekhilapan adalah suatu hal yang biasa , namun kesilapan itu akhirnya lebih berarti daripada tidak berbuat sama sekali. Ahmad bin Sulaiman Ayyub dalam bukunya "Musthalah Al-Hadîts lilhadîts Al-Bâni" mengatakan bahwa Imam Ibnu Majah tidak menghukumi bahwa kitabnya ma'sûm dari maudhû', maka seandainya ia tidak menghukumi seperti itu, maka ia telah berkontroversi karena realitanya tidak begitu.

Sulasiyyat Ibn Majah
Ibn Majah telah meriwayatkan beberapa buah hadits dengan sanad tinggi (sedikit sanadnya), sehingga antara dia dengan Nabi SAW hanya terdapat tiga perawi.
Hadits semacam inilah yang dikenal dengan sebutan Sulasiyyat

Penutup
Begitulah kilas sedikit tentang Imam jujur dan berpengetahuan luas Ibnu Majah, berbagai banyak pengorbanannya kepada Islam dalam dunia pendidikan demi mewujudkan para ulama yang baru yang siap berjuang di jalan Allah. Semoga Allah merahmatinya selalu

Kamis, 01 Januari 2009

PERAYAAN TAHUN BARU ITU SYIAR KAUM KUFFÂR

Oleh : Muhammad Abū Salmâ
“Tet Tet Tet”, saya mendengar bising suara anak-anak kecil meniup terompet. Bising sekali. Di pinggiran jalan, berjejer panjang para penjual terompet dengan berbagai aksesorisnya mengais rezeki. Saya teringat, ohya… beberapa hari lagi akan masuk pergantian tahun. Subhânallôh, di mana-mana masyarakat tampaknya sedang sibuk mempersiapkan perayaan tahun baru. Mulai dari spanduk, baleho, umbul-umbul, aksesoris dan lainnya. Di perempatan lampu merah, mata saya tertarik dengan sebuah spanduk bertuliskan, ”Muhasabah Akhir Tahun & Istighotsah” bersama ”Gus…”.
Mungkin, penyelenggara acara tersebut berfikir, daripada kaum muslimin berhura-hura pada saat pergantian akhir tahun, lebih baik membuat acara yang Islâmî sebagai alternatif daripada acara hura-hura. Tapi, apa benar bahwa perayaan Tahun baru itu merupakan syiarnya kaum kuffâr?!! Masak hanya merayakan perayaan dan peringatan seperti ini saja dikatakan syiarnya kaum kuffâr?!! Mungkin, demikian pertanyaan yang muncul dari benar para pembaca.
Iya, peringatan tahun baru (New Year Anniversary) itu merupakan syiar kaum kuffâr. Karena, tidaklah peringatan ini dirayakan, melainkan ia satu paket dengan peringatan natal (christmas). Kita sering lihat dan mendengar, bahwa tahni`ah (ucapan selamat) kaum Nasrani adalah : “Marry Christmas and Happy New Year”, “Selamat Natal dan Tahun Baru”. Namun, tunggu dulu. Tidak itu saja… Ternyata kaum pagan Persia yang beragama Majūsî (penyembah api), menjadikan tanggal 1 Januari sebagai hari raya mereka yang dikenal dengan hari Nairuz atau Nurus.
Penyebab mereka menjadikan hari tersebut sebagai hari raya adalah, ketika Raja mereka, ‘Tumarat’ wafat, ia digantikan oleh seorang yang bernama ‘Jamsyad’, yang ketika dia naik tahta ia merubah namanya menjadi ‘Nairuz’ pada awal tahun. ‘Nairuz’ sendiri berarti tahun baru. Kaum Majūsî juga meyakini, bahwa pada tahun baru itulah, Tuhan menciptakan cahaya sehingga memiliki kedudukan tinggi.
Kisah perayaan mereka ini direkam dan diceritakan oleh al-Imâm an-Nawawî dalam buku Nihâyatul ‘Arob dan al-Muqrizî dalam al-Khuthoth wats Tsâr. Di dalam perayaan itu, kaum Majūsî menyalakan api dan mengagungkannya –karena mereka adalah penyembah api. Kemudian orang-orang berkumpul di jalan-jalan, halaman dan pantai, mereka bercampur baur antara lelaki dan wanita, saling mengguyur sesama mereka dengan air dan khomr (minuman keras). Mereka berteriak-teriak dan menari-nari sepanjang malam. Orang-orang yang tidak turut serta merayakan hari Nairuz ini, mereka siram dengan air bercampur kotoran. Semuanya dirayakan dengan kefasikan dan kerusakan.
Kemudian, sebagian kaum muslimin yang lemah iman dan ilmunya tidak mau kalah. Mereka bagaikan kaum Nabî Mūsâ dari Banî Isrâ`il yang setelah Allôh selamatkan dari pasukan Fir’aun dan berhasil melewati samudera yang terbelah, mereka berkata kepada Mūsâ ‘alaihis Salâm untuk membuatkan âlihah (sesembahan-sesembahan) selain Allôh, sehingga Mūsâ menjadi murka kepada mereka. Sebagian kaum muslimin di zaman ini turut merayakan perayaan tahun baru Masehi ini. Bahkan sebagian lagi, supaya tampak Islâmî merubah perayaan ini pada tahun baru Hijriah.
Al-Muqrizî di dalam Khuthath-nya (I/490) menceritakan bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan tahun baru Hijriah ini adalah para pendukung bid’ah dari penguasa zindîq, Daulah ‘Ubaidiyah Fâthimîyah di Mesir, daulah Syi`ah yang mencabik-cabik kekuasaan daulah ‘Abbâsiyah dengan pengkhianatan dan kelicikan. Dan sampai sekarang pun, anak cucu mereka masih gemar merayakan perayaan-perayaan bid’ah yang tidak pernah Allôh dan Rasūl-Nya tuntunkan.
Pesta tahun baru sendiri, merupakan syiarnya kaum Yahūdî yang dijelaskan di dalam taurat mereka, yang mereka sebut dengan awal Hisya atau pesta awal bulan, yaitu hari pertama tasyrîn, yang mereka anggap sama dengan hari raya ‘Idul Adhhâ-nya kaum muslimin. Mereka mengklaim bahwa pada hari itu, Allôh memerintahkan Ibrâhîm untuk menyembelih Ishâq ‘alaihis Salâm yang lalu ditebus dengan seekor kambing yang gemuk.
Sungguh ini adalah sebuah kedustaan yang besar yang diada-adakan oleh Yahūdî. Karena sebenarnya yang diperintahkan oleh Allôh untuk disembelih adalah Ismâ’îl bukan Ishâq ‘alaihimâs Salâm. Karena sejarah mencatat bahwa Ismâ’îl adalah lebih tua daripada Ishâq dan usia Ibrâhîm pada saat itu adalah 99 tahun. Mereka melakukan tahrîf (penyelewengan fakta) semisal ini disebabkan oleh kedengkian mereka. Karena mereka tahu bahwa Ismâ’îl adalah nenek moyang orang ‘Arab sedangkan Ishâq adalah nenek moyang mereka.
Kemudian datanglah kaum Nasrani mengikuti jejak orang-orang Yahūdî. Mereka berkumpul pada malam awal tahun Mîlâdîyah. Dalam perayaan ini mereka melakukan do`a dan upacara khusus dan begadang hingga tengah malam. Mereka habiskan malam mereka dengan menyanyi-nyanyi, menari-nari, makan-makan dan minum-minum sampai menjelang detik-detik akhir pukul 12 malam. Lampu-lampu dimatikan dan setiap orang memeluk orang yang ada di sampingnya, sekitar 5 menit. Semuanya sudah diatur, bahwa disamping pria haruslah wanita. Kadang-kadang mereka saling tidak mengenal dan setiap orang sudah tahu bahwa orang lain akan memeluknya ketika lampu dipadamkan. Mereka memadamkan lampu itu bukannya untuk menutupi aib, namun untuk menggambarkan akhir tahun mulainya tahun baru.

Kini, perayaan ini telah menjadi suatu trend mark tersendiri. Muda, tua, pria, wanita, anak-anak, dewasa, muslim, kâfir, semuanya berkumpul untuk merayakan tahun baru. Segala bentuk acara untuk menyambut perayaan ini bermacam-macam. Ada yang sarat dengan kesyirikan, ada lagi yang sarat dengan kemaksiatan dan kefasikan, dan ada lagi yang sarat dengan kebid’ahan, dan ada pula yang sarat dengan kesemua itu.
Yang sarat dengan kesyirikan seperti, upacara penyambutan tahun baru yang kental diwarnai dengan klenik, perdukunan dan ilmu sihir. Segala paranormal berkumpul dan memberikan ramalan tentang awal tahun, baik dan buruknya. Sebagian lagi ada yang nyepi ke gunung-gunung atau tempat keramat untuk mencari ‘wangsit’ alias ilham dari setan.
Ada lagi yang sarat dengan kemaksiatan dan kefasikan. Dan ini sangat banyak sekali dan mendominasi. Mulai dari pentas musik akhir tahun yang menghadirkan wanita-wanita telanjang tidak punya malu yang bergoyang-goyang dan menari-nari merusak moral, sampai acara minum-minuman keras, narkoba dan seks bebas.
Ada lagi yang mengisi kegiatan ini dengan bid’ah-bid’ah yang tidak pernah dituntunkan oleh Rasūlullâh dan tidak pula dikerjakan oleh generasi terbaik, para sahabat dan as-Salaf ash-Shâlih. Mereka melakukan sholât malam (Qiyâmul Layl) berjama’ah khusus pada malam tahun baru saja dan disertai niat pengkhususannya. Ada lagi yang melakukan Muhâsabah atau renungan suci akhir tahun, dengan membaca ayat-ayat al-Qur`ân sambil menangis-nangis. Ada lagi yang berdzikir berjamâ’ah bahkan sampai istighôtsah kubrô. Dan segala bentuk bid’ah-bid’ah lainnya.
Dalîl-Dalîl Pengharamannya
Banyak dalîl-dalîl yang menjelaskan keharaman perayaan-perayaan yang merupakan syiar kaum kuffâr ini. Semuanya kembali kepada haramnya tasyabbuh ’alal Kuffâr (meniru kaum kuffâr) dan mengerjakan amalan yang tidak dituntunkan oleh Rasūlullâh dan para sahabatnya (bid’ah).
Syaikhul Islâm Ibnu Taimîyah rahimahullâh menulis sebuah kitâb khusus dan lengkap tentang larangan menyerupai kaum kuffâr, terutama yang berkaitan dengan hari-hari raya dan ritual ibadah mereka yang berjudul Iqtidhâ` ash-Shirâthal Mustaqîm li Mukhâlafati Ashhâbil Jahîm. Beliau menyebutkan dan memaparkan dalîl-dalîlnya dari al-Qur`ân lebih dari 30 ayat dan lebih dari 100 hadîts berserta wajhu dilâlah (sisi pendalilannya), termasuk juga ijma’ ulama, âtsâr dan i’tibâr-nya. Sampai-sampai al-Mufti, al-’Allâmah Muhammad bin Ibrâhîm Âlu Syaikh memujinya dan mengatakan, ”Betapa berharganya kitâb ini dan betapa besar faidahnya.” (Fatâwa wa Rosâ`il III/109).
Syaikhul Islâm rahimahullâh berkata :
موافقة الكفار في أعيادهم لا تجوز من طريقين: الدليل العام، والأدلة الخاصة: أما الدليل العام: أن هذا موافقة لأهل الكتاب فيما ليس من ديننا، ولا عادة سلفنا، فيكون فيه مفسدة موافقتهم، وفي تركه مصلحة مخالفتهم، لما في مخالفتهم من المصلحة لنا، لقوله - صلى الله عليه وسلم -: (من تشبه بقوم فهو منهم) فإن موجب هذا تحريم التشبه بهم مطلقاً، وكذلك قوله (خالفوا المشركين) وأعيادهم من جنس أعمالهم التي هي دينهم أو شعار دينهم، الباطل.وأما الأدلة الخاصة في نفس أعياد الكفار، فالكتاب والسنة والإجماع والاعتبار دالة على تحريم موافقة الكفار في أعيادهم.
”Menyepakati kaum kuffâr di dalam perayaan-perayaan mereka tidak boleh hukumnya dengan dua argumentasi dalil, yaitu dalil umum dan dalil khusus. Dalil umumnya adalah, bahwa menyepakati ahli kitâb di dalam perkara yang tidak berasal dari agama kita dan tidak pula berasal dari kebiasaan salaf kita, maka di dalamnya terdapat kerusakan menyepakati mereka dan meninggalkannya terdapat maslahat menyelisihi mereka. Menyelisihi mereka ada maslahatnya bagi kita, sebagaimana sabda Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa sallam : ”Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” Hadîts ini berkonsekuensi akan haramnya menyerupai kaum kuffâr secara mutlak. Demikian pula sabda Nabî, ”Selisihilah kaum musyrikîn”, sedangkan hari raya mereka termasuk jenis amal perbuatan berupa agama atau syiar agama mereka yang bâthil. Adapun dalîl-dalîl khusus tentang (haramnya menyepakati) perayaan kaum kuffâr ada di dalam al-Kitâb, as-Sunnah, al-Ijmâ’ dan al-I’tibar yang menunjukkan atas haramnya menyepakati kaum kuffâr di dalam berbagai perayaan mereka.” [Iqtidhâ` ash-Shirâthal Mustaqîm].
Dikarenakan banyaknya dalîl yang diuraikan oleh Syaikhul Islâm, maka saya akan meringkaskannya dan mencuplik sebagian saja. Berikut ini diantara dalîl-dalîl khusus akan haramnya menyepakati kaum kuffâr di dalam perayaan mereka :
Allôh Azza wa Jalla berfirman
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
”Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS al-Furqân : 72)
{ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ } وقال أبو العالية، وطاوس، ومحمد بن سيرين، والضحاك، والربيع بن أنس، وغيرهم: هي أعياد المشركين
Abūl ’Âliyah, Thôwus, Muhammad bin Sîrîn, adh-Dhohhâk, Rabî’ bin Anas dan selain mereka, mengatakan bahwa maksud Lâ yasyhadūna biz Zūr adalah (tidak menghadiri) perayaan kaum musyrikîn. [Lihat : Tafsîr Ibnu Katsîr VI/130; lihat pula Iqtidhâ` I/80]
وفي رواية عن ابن عباس – رضي الله عنهما - : أنه أعياد المشركين . وقال عكرمة – رحمه الله - : (لعب كان في الجاهلية يسمى بالزور )
Menurut riwayat Ibnu ’Abbâs radhiyallâhu ’anhumâ bahwa yang dimaksud (az-Zūr) adalah perayaan kaum musyrikin. ’Ikrimah rahimahullâhu berkata : ”Permainan di masa jahiliyah disebut dengan az-Zūr.” [Lihat : al-Jâmi` li Ahkâmil Qur`ân karya Imâm al-Qurthubî XIII/79/80].
Di dalam ayat di atas, Allôh menyatakan Lâ Yasyhadūna az-Zūr (tidak menyaksikan kepalsuan) bukan Lâ Yasyhadūna biz Zūr (tidak memberikan kesaksian palsu), hal ini menguatkan tafsîr para imâm dan ulama di atas. Oleh karena itulah Syaikhul Islâm menguatkan makna tafsîr di atas, beliau rahimahullâh berkata :
والعرب تقول : (شهدت كذا : إذا حضرته) . كقول ابن عباس – رضي الله عنهما- : (( شهدت العيد مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ))
”Orang ’Arab mengatakan : Syahidtu kadzâ (aku menyaksikan begini) maksudnya bila aku menghadirinya. Sebagaimana perkataan Ibnu ’Abbâs radhiyallâhu ’anhu : ”Saya menghadiri ’îd bersama Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam.” [Lihat Iqtidhâ` I/429].
Dan masih banyak ayat-ayat al-Qur`ân lainnya.
Adapun hadîts-hadîts yang melarang menyepakati perayaan kaum kuffâr banyak sekali. Diantaranya adalah :
عن أنس بن مالك - رضي الله عنه – قال: قدم رسول الله - صلى الله عليه وسلم – المدينة، ولهم يومان يلعبون فيهما، فقال: ما هذان اليومان، قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية. فقال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –: (إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما، يوم الأضحى، ويوم الفطر)
Dari Anas bin Mâlik radhiyallâhu ’anhu beliau berkata : Rasūlullâh Shallâllâhu ’alahi wa Sallam tiba di Madînah dan mereka memiliki dua hari yang mereka bermain-main di dalamnya. Lantas beliau bertanya, ”dua hari apa ini?”. Mereka menjawab, ”Hari dahulu kami bermain-main di masa jahiliyah.” Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam mengatakan : ”Sesungguhnya Allôh telah menggantikan kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari idul adhhâ dan idul fithri.” [Shahîh riwayat Imâm Ahmad, Abū Dâwud, an-Nasâ`î dan al-Hâkim.]
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu berkata :
فوجه الدلالة أن اليومين الجاهليين لم يقرهما رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ولا تركهم يلعبون فيهما على العادة، بل قال إن الله قد أبدلكم بهما يومين آخرين، والإبدال من الشيء يقتضي ترك المبدل منه، إذ لا يجمع بين البدل والمبدل منه.
”Sisi pendalilan hadîts di atas adalah, bahwa dua hari raya jahiliyah tersebut tidak disetujui oleh Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam dan Rasūlullâh tidak meninggalkan (memperbolehkan) mereka bermain-main di dalamnya sebagaimana biasanya. Namun beliau menyatakan bahwa sesungguhnya Allôh telah mengganti kedua hari itu dengan dua hari raya lainnya. Penggantian suatu hal mengharuskan untuk meninggalkan sesuatu yang diganti, karena suatu yang mengganti dan yang diganti tidak akan bisa bersatu.”
Banyak sekali hadîts yang memerintahkan kita untuk menyelisihi kaum kuffâr, misalnya kita disuruh untuk menyemir rambut dalam rangka menyelisihi Yahūdi dan Nashrâni, Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam bersabda :
إنَّ اليهود والنصارى لا يصبغون فخالفوهم
”Sesungguhnya orang Yahūdi dan Nashrâni tidak menyemir rambut mereka, maka selisihilah mereka.” [Muttafaq ’alaihi]
Kita juga diperintahkan untuk memelihara jenggot dan memotong kumis, diantara hikmahnya adalah untuk menyelisihi kaum musyrikin. Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam bersabda :
خالفوا المشركين أحفوا الشوارب وأوفوا اللحى
”Selisihilah orang musyrikin, potonglah kumis dan biarkan jenggot kalian.” [HR Muslim].
جزوا الشوارب، وأرخوا اللحى، وخالفوا المجوس
”Guntinglah kumis, panjangkan jenggot dan selisihilah orang Majūsî.” [HR Muslim].
Kita pun disyariatkan sholât dengan sandal dan khūf (alas kaki/sepatu) untuk menyelisihi orang Yahūdi. Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam bersabda :
خالفوا اليهود فإنهم لا يصلون في نعالهم ولا خفافهم
”Selisihilah Yahūdi karena mereka tidak sholât dengan sandal dan sepatu mereka.” [HR Abū Dâwud].
Dianjurkannya bersahur pun, diantara hikmahnya adalah juga untuk menyelisihi Ahli Kitâb. Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam bersabda :
فصل ما بين صيامنا وصيام أهل الكتاب أكلة السحر
”Yang membedakan puasa kita dengan puasa ahli kitâb adalah, makan sahūr.” [HR Muslim].
Demikian pula dengan menyegerakan berbuka, juga dianjurkan untuk menyelisihi ahli Kitâb :
لا يزال الدين ظاهراً ما عجل الناس الفطر ؛ لأن اليهود والنصارى يؤخرون
”Agama ini akan senantiasa menang selama manusia menyegerakan berbuka, karena orang Yahūdi dan Nashrâni mengakhirkannya.” [HR Abū Dâwud].
Dan masih banyak lagi hadits-hadits lainnya.
Sisi pendalilan hadits-hadits di atas adalah, apabila dalam masalah penampilan saja, seperti menyemir rambut dan memelihara jenggot kita diperintahkan untuk menyelisihi kaum kuffâr, maka tentu saja dalam hal perayaan yang bersifat bagian dari ritual dan syiar keagamaan mereka lebih utama dan lebih wajib untuk diselisihi.
Adapun âtsar sahabat dan ulama salaf dalam masalah ini, sangatlah banyak. Diantaranya adalah ucapan ’Umar radhiyallâhu ’anhu, beliau berkata :
اجتنبوا أعداء الله في عيدهم
”Jauhilah hari-hari perayaan musuh-musuh Allôh.” [Sunan al-Baihaqî IX/234].
’Abdullâh bin ’Amr radhiyallâhu ’anhumâ berkata :
من بنى ببلاد الأعاجم وصنع نيروزهم ومهرجانهم ، وتشبه بهم حتى يموت وهو كذلك حُشِر معهم يوم القيامة
”Barangsiapa yang membangun negeri orang-orang kâfir, meramaikan peringatan hari raya nairuz (tahun baru) dan karnaval mereka serta menyerupai mereka sampai meninggal dunia dalam keadaan demikian. Ia akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat.” [Sunan al-Baihaqî IX/234].
Imâm Muhammad bin Sîrîn berkata :
: أُتي على -رضي الله عنه- بهدية النيروز. فقال : ما هذا ؟ قالوا : يا أمير المؤمنين هذا يوم النيروز . قال : فاصنعوا كل يوم فيروزاً . قال أسامة : كره أن يقول : نيروز
’’Alî radhiyallâhu ’anhu diberi hadiah peringatan Nairuz (Tahun Baru), lantas beliau berkata : ”apa ini?”. Mereka menjawab, ”wahai Amîrul Mu’minîn, sekarang adalah hari raya Nairuz.” ’Alî menjawab, ”Jadikanlah setiap hari kalian Fairuz.” Usâmah berkata : Beliau (’Alî mengatakan Fairuz karena) membenci mengatakan ”Nairuz”. [Sunan al-Baihaqî IX/234].
Imâm Baihaqî memberikan komentar :
وفي هذا الكراهة لتخصيص يوم بذلك لم يجعله الشرع مخصوصاً به
”Ucapan (’Alî) ini menunjukkan bahwa beliau membenci mengkhususkan hari itu sebagai hari raya karena tidak ada syariat yang mengkhususkannya.”
Apabila demikian ini sikap manusia-manusia terbaik, lantas mengapa kita lebih menerima pendapat dan ucapan orang-orang yang jâhil dan mengikuti budaya kaum kuffâr daripada ucapan para sahabat yang mulia ini.
Hari Raya Kita Adalah Idul Fithri dan Idul Adhhâ serta Jum’at
Di dalam hadîts yang diriwayatkan oleh Ummul Mu’minîn, ’Â`isyah ash-Shiddîqah binti ash-Shiddîq radhiyallâhu ’anhumâ, beliau menceritakan bahwa ayahanda beliau, Abū Bakr radhiyallâhu ’anhu mengunjungi Rasūlullâh. Kemudian Abū Bakr mendengar dua gadis jâriyah menyanyi dan mengingkarinya. Mendengar hal ini, Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam bersabda :
يا أبا بكر ! إن لكل قوم عيداً وإن عيدنا هذا اليوم
”Wahai Abū Bakr, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya dan hari raya kita adalah pada hari ini.” [HR Bukhârî].
Dari hadîts di atas, ada dua hal yang bisa kita petik :
Pertama, sabda Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam : ”Sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya” menunjukkan bahwa setiap kaum itu memiliki hari raya sendiri-sendiri. Hal ini sebagaimana firman Allôh Ta’âlâ :
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً
”Untuk tiap-tiap (ummat) diantara kalian ada aturan dan jalannya yang terang (tersendiri).” [QS al-Mâ`idah : 48].
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allôh memberikan aturan dan jalan sendiri-sendiri secara khusus. Kata Lâm (لِ) pada kata Likullin (لِكُلٍّ) menunjukkan makna ikhtishâsh (pengkhususan). Apabila orang Yahūdi memiliki hari raya dan orang Nashrâni juga memiliki hari raya, maka hari-hari raya itu adalah khusus bagi mereka dan tidak boleh bagi kita, kaum muslimin, ikut turut serta dalam perayaan mereka, sebagaimana kita tidak boleh ikut dalam aturan dan jalan mereka.
Kedua, sabda Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam : وإن عيدنا هذا اليوم (Dan hari raya kita adalah pada hari ini”), dalam bentuk ma’rifah (definitif) dengan lâm dan idhâfah menunjukkan hasyr (pembatasan), yaitu bahwa jenis hari raya kita dibatasi hanya pada hari itu. Dan hari tersebut di sini masuk pada cakupan hari raya ’îdul Fithri dan ’îdul Adhhâ, seperti dalam perkataan para ulama fikih :
لا يجوز صوم يوم العيد
”Tidak boleh berpuasa pada hari raya”.
Maka maksudnya tentu saja, tidak boleh berpuasa pada dua hari raya ’Idul Fithri dan ’Idul Adhhâ.
Dalîl lainnya adalah hadîts Anas bin Mâlik :
عن أنس بن مالك - رضي الله عنه – قال: قدم رسول الله - صلى الله عليه وسلم – المدينة، ولهم يومان يلعبون فيهما، فقال: ما هذان اليومان، قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية. فقال رسول الله - صلى الله عليه وسلم –: (إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما، يوم الأضحى، ويوم الفطر)
Dari Anas bin Mâlik radhiyallâhu ’anhu beliau berkata : Rasūlullâh Shallâllâhu ’alahi wa Sallam tiba di Madînah dan mereka memiliki dua hari yang mereka bermain-main di dalamnya. Lantas beliau bertanya, ”dua hari apa ini?”. Mereka menjawab, ”Hari dahulu kami bermain-main di masa jahiliyah.” Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam mengatakan : ”Sesungguhnya Allôh telah menggantikan kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari idul adhhâ dan idul fithri.” [Shahîh riwayat Imâm Ahmad, Abū Dâwud, an-Nasâ`î dan al-Hâkim.]
Adapun Jum’at, maka termasuk hari raya kaum muslimin yang berulang-ulang dalam tiap pekannya. Sehingga dengannya telah cukup bagi kita dan tidak mencari hari-hari perayaan lainnya. Dalîl hal ini adalah, sabda Nabî yang mulia Shallâllâhu ’alahi wa Sallam :
أضل الله عن الجمعة من كان قبلنا ، فكان لليهود يوم السبت، وكان للنصارى يوم الأحد فجاء الله بنا، فهدانا الله ليوم الجمعة، فجعل الجمعة والسبت والأحد ، وكذلك هم تبع لنا يوم القيامة، نحن الآخرون من أهل الدنيا ، والأولون يوم القيامة، المقتضي لهم
”Alloh simpangkan dari hari Jum’at umat sebelum kita, dahulu Yahudi memiliki (hari agung) pada hari Sabtu dan Nashrani pada hari Ahad. Kemudian Allôh datangkan kita dan Alloh anugerahi kita dengan hari Jum’at, lantas Alloh jadikan hari Jum’at, Sabtu dan Ahad. Demikianlah, mereka adalah kaum yang akan mengekor kepada kita pada hari kiamat sedangkan kita adalah umat yang terakhir dari para penduduk dunia namun umat yang awal pada hari kiamat, yang diadili (pertama kali) sebelum makhluk-makhluk lainnya. [HR Muslim]
Dari Ibnu ’Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda :
إن هذا يوم عيد جعله الله للمسلمين فمن جاء الجمعة فليغتسل…
”Sesungguhnya hari ini adalah hari ’Ied yang Alloh jadikan bagi kaum Muslimin, barangsiapa yang mendapati hari Jum’at hendaknya ia mandi…” [HR Ibnu Majah dalam Shahih at-Targhib I/298].

Mencukupkan Diri Dengan Sunnah
Para pembaca budiman, sesungguhnya mencukupkan diri dengan yang telah diberikan oleh Allôh dan Rasūl-Nya adalah jauh lebih baik dan utama bagi kita, sehingga tidak perlu bagi kita mencari selain dari apa yang dituntunkan dan diperintahkan oleh Rabb dan Nabî kita, lalu mengikuti jalannya orang-orang yang bodoh dan menyimpang. Allôh Ta’âlâ berfirman :
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
”Kemudian, kami jadikan kamu di atas syariat dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS al-Jâtsiyah : 18)
Ibnu Mas’ūd radhiyallâhu ’anhu berkata :
الاقتصاد في السنة ، أحسن من الاجتهاد في البدعة
”Bersederhana di dalam sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh (jawa : ngoyo) di dalam bid’ah.” [al-I’tishâm II/65-72].
Beliau juga radhiyallâhu ’anhu berkata :
اتبعوا ولا تبتدعوا فقد كُفيتم
”Mencontohlah janganlah berbuat bid’ah karena kalian telah dicukupi.” [Majma’uz Zawâ`id I/181].
Islâm adalah agama yang sempurna, tidak butuh lagi kepada penambahan-penambahan, revisi ataupun penilaian dari luar.

Fatwa al-Imâm Ibnu Baz
Ditanya al-Imâm Ibnu Baz rahimahullâh :
”Apa arahan yang mulia tentang peringatan tahun baru dan apa pendapat anda tentangnya?”
Al-Imâm menjawab :
”Perayaan tahun baru adalah bid’ah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama dan masuk ke dalam sabda Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
”Barangsiapa mengada-adakan sesuatu di dalam urusan (agama) ini yang tidak ada tuntunannya maka tertolak.” Muttafaq ’alaihi (disepakati keshahihannya) dari hadîts ’Â`isyah radhiyallâhu ’anhâ.
Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam juga bersabda :
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
”Barangsiapa yang mengamalkan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka tertolak.” Dikeluarkan oleh Imâm Muslim di dalam Shahîh-nya.
Nabî ’alaihi ash-Sholâtu was Salâm juga bersabda di tengah khuthbah jum’at :
أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله, وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم, وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة
”Amma Ba’du, Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitâbullâh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallâllâhu ’alaihi wa Sallâm. Seburuk-buruk suatu perkara adalah perkara yang diada-adakah dan setiap bid’ah itu sesat.” Dikeluarkan oleh Muslim di dalam Shahîh-nya.
An-Nasâ`î menambahkan di dalam riwayatnya dengan sanad yang shahîh :
وكل ضلالة في النار
”Dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka.”
Maka wajib bagi seluruh muslim baik pria maupun wanita untuk berhati-hati dari segala bentuk bid’ah. Islâm dengan segala puji bagi Allôh telah mencukupi segala hal dan telah sempurna. Allôh Ta’âlâ berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
”Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan aku sempurnakan nikmat-Ku serta Aku ridhai Islâm sebagai agama kalian.” (QS al-Mâ`idah :3)
Allôh telah menyempurnakan bagi kita agama ini segala yang disyariatkan baik berupa perintah maupun segala yang larangan dilarangnya. Manusia tidak butuh sedikitpun kepada bid’ah yang diada-adakan oleh seorangpun, baik itu bid’ah perayaan maupun selainnya.
Segala bentuk perayaan, baik itu perayaan kelahiran Nabî Shallâllâhu ’alahi wa Sallam, atau peringatan kelahiran (Abū Bakr) ash-Shiddiq, ’Umar, ’Utsmân, ’Alî, Hasan, Husain atau Fâthimah, ataupun Badawî, Syaikh ’Abdul Qadîr Jailânî, atau Fulân dan Fulânah, semuanya ini tidak ada asalnya, mungkar dan dilarang. Semua perayaan ini masuk ke dalam sabda Nabî, ”setiap bid’ah itu sesat”.
Untuk itu tidak boleh bagi kaum muslimin untuk merayakan bid’ah ini walaupun manusia mengamalkannya, karena perbuatan manusia itu bukanlah dasar syariat bagi kaum muslimin dan tidak pula qudwah (teladan) kecuali apabila selaras dengan syariat. Semua perbuatan dan keyakinan manusia harus ditimbang dengan timbang syar’î yaitu Kitâbullâh dan Sunnah Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam. Apabila selaras dengan keduanya maka diterima dan apabila menyelisihi ditolak, sebagaimana firman Allôh Ta’âlâ :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
”Apabila kalian berbeda pendapat tentang sesuatu hal maka kembalikanlah kepada Allôh (Kitâbullâh) dan Rasūl (hadîts) apabila kalian beriman kepada Allôh dan hari akhir. Yang demikian ini adalah lebih baik akibatnya.”
Semoga Allôh memberikan taufiq dan petunjuk-Nya kepada semuanya ke jalan-Nya yang lurus.
[Fatâwâ Nūr ’alad Darb; kaset no.1]

Kesimpulan
Tidak ragu lagi, dari ulasan singkat dan sederhana di atas, bahwa perayaan Tahun Baru, maupun perayaan-perayaan lainnya yang tidak ada tuntunannya, merupakan :
1. Bid’ah di dalam agama setelah Allôh menyempurnakannya.
2. Menyerupai orang kuffâr di dalam perayaan mereka.
3. Turut menghidupkan syiar dan mengagungkan agama kaum kuffâr.
Allôhu a’lam bish Showâb.
Daftar Bacaan :
• Al-Bida’ al-Haulîyah, ’Abdullâh bin ’Abdil ’Azîz at-Tuwaijirî. Riyâdh : 1421/2000, Dârul Fadhîlah. Cet. 1.
• Al-Bida’ al-Haulîyah, ’Abdullâh bin ’Abdil ’Azîz at-Tuwaijirî. Soft Copy dari http://sahab.org.
• Tahrîmul Musyârokah fî A’yâdil Mîlâd wa Ra`sis Sanah, http://magrawi.net
• Waqofah Haula A’yâdi Ra`sis Sanah al-Ifranjîyah, Khâlid ’Abdurrahman asy-Syayi’, http://magrawi.net
• The Two ‘Eids And Their Significance, ‘Abdul Majîd ‘Alî Hasan, Ebook download dari http://theclearpath.com
• Hukmu A’yâdil Mîlâd, al-‘Allâmah ‘Abdul ‘Azîz bin Baz, http://magrawi.net


Kejujuran Membawa Berkah

Di sebuah wilayah kerajaan nun jauh di sana. Hiduplah dua orang yang saling bersahabat sejak lama. Mereka adalah Abdullah dan Abdurrahman. Abdullah seorang petani yang telah terbiasa bekerja keras. Sedangkan Abdurrahman seorang pedagang yang rajin. Jika Abdullah sedang dalam kesulitan, Abdurrahman selalu membantunya. Begitupula sebaliknya, jika Abdurrahman sedang mendapat masalah, Abdullah pasti akan membantu. Kedua sahabat itu sangat rukun.

Abdullah mempunyai seorang anak perempuan bernama Siti. Anak perempuannya itu senang membantu pekerjaan sang ayah. Selain itu ia juga rajin dan taat beribadah. Sedangkan Abdurrahman memiliki anak laki-laki bernama Naufal, yang juga rajin membantu ayahnya berdagang. Sebagai sahabat karib, keduanya seringkali berkunjung satu sama lain dengan mengajak anak-anak mereka.

Image

Pada suatu hari Abdullah berkunjung ke rumah Abdurrahman. Ia berniat ingin memperluas lahan pertaniannya. Disampaikanlah niat itu kepada sahabatnya
“Abdurrahman sahabatku.. Aku baru saja selesai panen dan Alhamdulillah aku mendapat keuntungan yang sangat besar dari hasil panenku. Sekarang aku berniat untuk menambah lagi lahan pertanianku. Apakah kau punya pandangan lahan yang dijual di daerah sekitar sini?”
Abdurrahman diam sejenak. Ia berpikir.. “Hmm.. Abdullah adalah sahabatku, ini adalah kesempatan untuk membantunya”
“Abdullah.. Bagaimana jika lahanku saja.. Kebetulan aku ada sedikit lahan peninggalan orang tua. Lagipula lahan itu tidak ada yang mengelola karena aku sibuk berdagang. Kau bisa membelinya dengan harga yang pantas”.
“Ohya? Alhamdulillah.. Kau baik sekali, sahabatku. Namun tentunya aku ingin melihatnya lebih dulu, kalau cocok barulah kita bicarakan soal harga”.

Kemudian mereka bersama-sama menuju ke tempat lahan Abdurrahman yang akan dijual.
“Abdullah.. Inilah lahan yang aku maksud”
“Wah! Lahan ini bagus sekali untuk pertanian. Apakah kau akan menjualnya semua?”.
“Aku akan jual semua untukmu, Abdullah”
“Baiklah, kalau begitu aku akan bayar sesuai dengan harga yang kau minta”

Abdullah pulang dengan hati gembira karena telah mendapatkan lahan pertanian yang baru. Sesampai di rumah ia pun bercerita kepada Siti, anak perempuannya, bahwa ia baru saja membeli lahan yang bagus dari sahabatnya.
“Anakku.. Ayo kita pergi ke kota untuk mencari bibit tanaman dan beberapa alat pertanian. Sebagian alat-alat pertanian kita sudah waktunya diganti yang baru”.
“Baik ayah.. Aku bersiap-siap dulu”

Keesokan harinya mulailah Abdullah dan Siti menggarap lahan yang baru itu. Mereka bekerja keras tak kenal lelah. Abdullah terus mencangkul tanah dari ujung batas lahan sebelah barat sampai ujung batas sebelah timur. Sementara Siti membantu mencabuti rumput dan menyiapkan makanan untuk ayahnya.

Pada saat Abdullah asyik mengayunkan cangkulnya, tiba-tiba TING!! Terdengar suara nyaring dari ujung cangkulnya. Ia coba sekali lagi mengayunkan cangkulnya, dan.. TING!!, kembali cangkulnya menatap sebuah benda keras.
“Hai! Siti! Coba kemari.. Ayah menemukan sesuatu!”
Siti datang menghampiri ayahnya.
“Ayah! Ayo kita lihat. Benda apa yang ada di bawah sana”
Mereka bersama-sama menggali tanah. Dan.. Betapa kaget mereka demi melihat apa yang mereka temukan.
“Hahh?! Bokor emas!!” teriak mereka serentak.
Mereka menemukan sebuah bokor emas sebesar buah kelapa dengan cahaya berkilauan.

Image

Siti memungut benda itu dan membersihkannya dari tanah yang masih melekat.
“Waah… Indah sekali Ayah. Pasti harganya sangat mahal! Kita beruntung, Ayah!”
“Tidak! Tidak Anakku! Benda itu bukan milik kita. Kita tidak berhak memilikinya. Ayah hanya membeli lahan ini, bukan isinya. Ayah harus mengembalikan benda ini kepada pemiliknya, Abdurrahman sahabat Ayah”

Abdullah pun bergegas pergi ke rumah sahabatnya dengan membawa bokor emas yang baru saja ia temukan. Sesampai di rumah Abdurrahman..
“Abdurrahman sahabatku, aku temukan benda ini di dalam lahan yang aku beli darimu. Aku tidak berhak memilikinya. Karena aku membayarmu hanya untuk sebidang lahan dan bukan isinya”
“Maaf Abdullah, aku tidak bisa menerima ini. Karena aku menjual lahan itu, tentu saja beserta isinya, jadi itu jelas bukan milikku. Tetapi milikmu”.
“Aku juga tidak bisa menerima ini, Abdurrahman. Aku takut kepada Allah jika mengambil sesuatu yang bukan hakku..”
“Aku pun demikian, Abdullah. Celakalah diriku jika memiliki sesuatu yang bukan hakku”

Mereka bingung harus bagaimana. Sesaat mereka terdiam, lalu salah satu diantara mereka mengusulkan,
“Bagaimana kalau persoalan ini kita laporkan kepada pak Kyai? Agar beliau yang memutuskan semuanya. Dan… Apapun keputusan beliau kita harus menerimanya”
Keduanya sepakat dan sama-sama berangkat menuju rumah pak Kyai.

Sesampai di rumah pak Kyai kedua sahabat itu menyampaikan permasalahan mereka. Pak Kyai berpikir sejenak, lalu mengajukan pertanyaan kepada mereka.
“Abdurrahman... Apakah kau mempunyai seorang anak?”
“Iya pak Kyai. Saya punya seorang anak laki-laki”.
“Hmm… Baik. Apakah anakmu itu sudah cukup dewasa untuk menikah?
“Sudah pak Kyai. Anak saya berumur 26 tahun”.
“Bagus”

“Tuan Abdullah.. Apakah kau mempunyai seorang anak?”
“Iya pak Kyai. Siti adalah anak perempuan saya satu-satunya”
“Berapa usia anakmu?”
“Emm.. Bulan depan, 21 tahun pak Kyai”
“Baiklah… Abdurrahman dan Abdullah.. Tanyakan kepada anak kalian masing-masing, apakah mereka mau dijodohkan. Jika mereka mau, juallah bokor emas itu. Lalu uang hasil penjualannya kalian gunakan untuk membiayai pesta pernikahan anak-anak kalian. Bagaimana?”.

Abdurrahman dan Abdullah saling pandang dengan wajah berseri-seri. Lalu keduanya menganggukkan kepala. Keputusan pak Kyai telah membuat mereka bernafas lega.
“Alhamdulillah.. ini adalah keputusan yang sangat adil”
“Iya.. Kita telah mendapatkan jalan keluar atas permasalahan kita”
“Abdurrahman sahabatku.. Kita benar-benar akan menjadi saudara..!”
“Abdullah.. Kau akan menjadi mertua anakku! Hahaha…!
Kedua sahabat karib itu pulang dari rumah pak Kyai dengan perasaan suka cita. Namun tiba-tiba keduanya terdiam. Ada sesuatu yang mereka lupakan…
“Abdurrahman.. Kenapa kita terlalu bergembira..? Kau kan belum bertanya kepada anakmu, apakah dia mau menikah dengan anakku?”
“Benar Abdullah.. Jangan-jangan anakmu juga tidak mau menikah dengan anakku!”
Mereka kembali terdiam. Pikiran mereka berkecamuk. Mereka kuatir anak-anak mereka menolak dijodohkan. Kalau sampai itu terjadi berarti persoalan bokor emas itu akan muncul kembali. Akhirnya mereka sepakat untuk mengumpulkan anak-anak mereka dan menyampaikan maksud mereka sesuai dengan petunjuk dan nasehat pak Kyai.

Keesokan harinya Abdurrahman mengajak Naufal anaknya berkunjung ke rumah Abdullah. Sementara Abdullah dan Siti sudah menunggu kedatangan mereka. Dengan sangat hati-hati mereka menyampaikan maksud dan tujuan pertemuan mereka hari itu. Lalu diakhir kalimat mereka, mereka bertanya kepada anak-anaknya..
“Bagaimana anakku? Apakah kalian mau dijodohkan?”
Sejenak Naufal dan Siti saling memandang. Sementara ayah mereka menunggu jawaban dengan hati berdebar. Akhirnya dengan serempak Naufal dan Siti memberikan jawaban yang mengejutkan.
“Kami memang sudah lama saling mencintai. Tetapi kami takut untuk berterus terang kepada Ayah!”
Mengejutkan sekaligus melegakan hati Abdullah dan Abdurrahman. Mereka tidak menyadari bahwa kebiasaan mengajak anak-anak mereka saling berkunjung, rupanya telah menumbuhkan benih cinta diantara anak-anak mereka.

Pesta pernikahan Naufal dan Siti pun dilaksanakan dengan sangat meriah dengan biaya dari hasil penjualan bokor emas. Sebenarnya, bukanlah nilai bokor emas itu yang membuat mereka bahagia, akan tetapi kejujuran dan ketulusan merekalah yang menjadikan bokor emas itu membawa berkah untuk mereka dan kedua anaknya/***
Penulis : Dave Ariant Yusuf W
Sumber : www.nuansaonline.net

Rabu, 08 Oktober 2008

Tiga tipe manusia berdasarkan aktifitasnya.

_______________________________________

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ ٭ فاطر ٣٢

Kemudian aku wariskan kitab kepada orang2 yang telah aku pilih dari hambaku, maka sebagian dari mereka orang yang aniaya pada dirinya dan sebagian dari mereka orang yang sedang dan sebagian dari mereka orang yang bercepat pada kebaikan dengan idzin Alloh. Demikian itu keuntungan yang besar.


Berdasarkan latar belakang penggerak aktifitas/pengamalannya; manusia dapat digolongkan menjadi tiga (3) tipe mental yaitu: Tipe mental Pejuang, Tipe mental Pekerja, dan Tipe mental Penjahat.

1. Tipe mental Pejuang.

Tipe mental Pejuang adalah orang yang bekerja, beraktifitas/beramal/ berjuang dengan dedikasi tinggi terbaiknya untuk tujuan menghasilkan sesu-atu yang terbaik, terbenar, dan termanfaat. Bagi seorang Pejuang ada atau tidaknya imbalan tak menjadi persoalan, yang penting ia bisa dan biasa mela-kukan yang terbaik, terbenar, teradil, teraman, termanfaat untuk kemaslahatan (kesejahteraan, kepentingan, dan keselamatan) diri dan umat seluas-luasnya.

Perjalanan waktu telah membuktikan bahwa orang-orang yang namanya harum hingga sekarang adalah para Pejuang Kebenaran. Apa sebabnya? Kare-na mereka lebih banyak memberi daripada mendapatkan; lebih banyak berkor-ban daripada mengorbankan; lebih banyak bekerja daripada berbicara; serta lebih banyak berkarya nyata daripada berkhayal nyata.

Untuk saat sekarang dan mendatang; bangsa kita umumnya dan Agama khususnya sangat memerlukan banyak Pemimpin yang terdiri dari orang-orang yang bermental dan mampu menjadi Pejuang sejati; daripada Pemimpin yang bermental sebagai Pekerja.

Salah satu ciri melekat seorang Pemimpin Pejuang adalah kepemilikan watak/karakter Perwira berjiwa Ksatria sejati yang mulia; siap setiap saat, jujur mengakui kebenaran dan tulus mengakui kesalahan dihadapan umum; sekali-pun saja tak akan pernah melakukan keculasan/pengkhianatan dengan cara cuci tangan - mencari kambing hitam/mengorbankan pihak lain/bawahannya tatkala ia terbukti berbuat kesalahan à fastabiqul khoirot !

2. Tipe mental Pekerja.

Tipe mental Pekerja adalah orang yang hanya mau melakukan sesuatu karena disuruh/diperintah atau karena mengharapkan imbalan dan keuntungan langsung. Ia akan berhenti beraktifitas apabila tidak ada lagi imbalan yang bisa didapat!. Pekerja hanyalah orang-orang yang mau bergerak apabila ada keun-tungan langsung yang bisa diperoleh, dan hanya bergerak apabila disuruh; pasif; kurang peduli, dan terkesan tak ada inisiatif sama sekali! à muqtasid !

3. Tipe mental Penjahat.

Tipe mental Penjahat adalah tipe orang yang hanya bekerja untuk keun-tungan diri dan kelompoknya (/komplotannya) sendiri. Tak menjadi soal apa-kah sikap perilaku dan tindakan yang ia lakukan dengan menghalalkan semua cara, memberatkan, menyesengsarakan, merugikan, mengorbankan orang lain yang penting dan baku; asal kepentingan diri dan kelompoknya terpenuhi à puaslah dia !. Melakukan berbagai trik culas, licik, serakah, mau menang sendiri, suka menjatuhkan martabat orang lain; adalah gaya kepiawaiannya! à dholimu li nafsihi !


Kita selaku orang iman sejati perlu dan harus berdedikasi tinggi dalam me-nempuh hidup sekali ini. Orang yang berdedikasi tinggi akan senantiasa berupaya mencari dunia dengan cara yang baik dan benar, serta akan menggunakan/me-ngeluarkannya dengan cara dan pertimbangan yang baik, benar serta demi kepen-tingan/kemaslahatan umat pula !. Salah satu caranya adalah dengan senantiasa berupaya untuk mampu berpikir, bekerja keras dan berkarya besar !.

Setiap kali ada momentum Hari Kemerdekaan, seharusnya mampu mem-bangkitkan kembali semangat juang kita; berjuang untuk melakukan perubahan lebih serius kedepan untuk kemajuan dan kebaikan masyarakat/umat dengan cara mentransformasikan (memindah-alihkan) potensi - kemampuan - keahlian kita un-tuk kemanfaatan yang seluas-luasnya, dan selalu berupaya mencari solusi cerdas beserta alternatifnya atas setiap masalah yang ada dan terjadi di lingkungannya, serta senantiasa berusaha membawa keselamatan dan kedamaian bagi lingkung-an sekitar. Dengan lain kata; ikhlas berbuat semata-mata bukan untuk mendapat-kan, tetapi berbuat ikhlas semata-mata untuk mencipta, menghasilkan, memberi, menebarkan kebaikan, kebenaran, dan kemanfaatan yang sebanyak-banyaknya serta seluas-luasnya; berupaya sedapat mungkin menjadi karya besar yang monu-mental !.

Semoga Alloh paring barokah dan manfaat !!!


_______________________________________________________

Rabu, 03 September 2008

NARKOBA / NAPZA

(Narkotika, Alkohol, dan Bahan Adiktif / Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif)

Sebenarnya apakah Narkotika, Drugs, dan NAPZA itu ?

Narkotika dikenal secara umum sejatinya adalah sebagai obat-obatan yang digunakan untuk maksud yang khusus dan dalam dosis yang tertentu, namun dalam tema pembicaraan kita ini disalahgunakan penggunaannya। Drugs, diambil dari bahasa Inggris yang artinya obat-obatan, sedangkan NAPZA adalah singkatan dari Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif. Zat Adiktif itu adalah zat yang dapat menimbulkan ketergantungan (menjadi ketagihan) terhadap penggunanya.

Macam-macam Narkotika:

1. Ganja

2. Candu

3. Morfin

4. Opiat (Heroin /Putaw)

5. Kokain

6. Nikotin

7. Codein

Macam-macam NAPZA:

1. Alkohol

2. Barbiturat (Obat penenang)

3. Obat tidur

4. Amphetamenia (Shabu-shabu, Ekstasi)

5. Inhalants (bensin, cat, lem yang baunya dihirup lewat hidung)

Sekarang narkotika yang lagi ngetrend dikalangan remaja adalah putaw. Kalau shabu-shabu dipakai oleh para pekerja atau eksekutif muda. Kenapa pemakainya berbeda? Karena kedua jenis obat itu memang berbeda kegunaan dan efeknya.

Kalau putaw itu efek nikmatnya bisa fly, serasa bisa melayang-layang sendiri dan merasa tenang. Pemakainya biasanya remaja, karena remaja mempunyai mental yang masih labil, sehingga kalau ada masalah ingin cepat selesai, mudah terpengaruh dengan lingkungan dan rasa ingin tahu tinggi atau iseng ingin mencoba. Nah! kalau sudah pakai putaw rasanya semua masalah hilang - plas !, dan dunia ini serasa begitu indah, nggak ada lagi gangguan yang bakal datang.

Kalau shabu-shabu pemakainya seolah nggak pernah ngrasain sakit, soalnya akan gembira terus, senang terus, stamina selalu okey, makanya pemakainya itu para eksekutif tujuannya untuk menambah stamina dalam bekerja, apalagi maunya kerja nglembur pantang kendur, nah ! dia mesti kerja terus, biar duit bisa mengalir terus, soalnya shabu-shabu ini harganya sangat mahal !.

Bahaya Narkotika/Drugs/NAPZA

Jika ada pendapat narkoba/napza/drugs kan tidak berbahaya kalau cara pakainya benar dan dosisnya nggak banyak. Salah besar jika kita punya pikiran seperti itu, tidak ada narkotika yang tidak berbahaya, semua jenis narkotika berbahaya tanpa kecualinya, karena semua itu, sedikit demi sedikit, pelan namun pasti merusak fisik dan mental kita, sehingga pemakai drugs lama kelamaan badannya jadi semakin kurus, tidak berisi, tidak sehat, lemas dan tidak bergairah.

Drugs itu merusak otak dan tubuh, sehingga mengakibatkan terjadinya komplikasi dan bisa menimbulkan berbagai macam penyakit. Secara fisik sudah kita ketahui bahwa drugs merusak sel-sel yang ada dalam tubuh. Kita akan mudah terkena infeksi terutama bagian hidung dan tangan. Tetapi selain merusak fisik, drugs ini juga merusak mental kita dan merusak hubungan kita dengan keluarga dan lingkungan masyarakat, misalnya hubungan dengan keluarga jadi semakin reng-gang, sering marah-marah dan bosan di rumah, kelakuannya jadi anti sosial, suka menyendiri, nggak suka berhubungan dengan lingkungan, malas belajar, nilai sekolah menurun drastis, nggak bisa membedakan : baik - buruk, pahala - dosa, dan selanjutnya akan menyebabkan terjadinya kriminalisasi[1] dalam diri orang ini hingga ia menjadi suka berbohong menipu, mencuri, berbuat curang, bahkan tidak mustahil melakukan perbuatan kriminal yang lebih berat, dan yang paling berbahaya adalah kalau kita kecanduan drugs, itu berarti secara rutin kita harus mengkonsumsi obat itu, dan kalau nggak, badan kita terasa sakit bukan main, dan bahaya yang paling berat adalah kalau pemakai menggunakan drugs ini dalam dosis yang tinggi dan apa yang terjadi ?. Orang tersebut akhirnya bisa (baca : kebanyakan) mati.

Kalau Kecanduan dan Ketagihan drugs

Semua drugs bisa membuat kecanduan. Kalau pemakai putaw (disebut pakaw) terus nggak pakai lagi, badan bisa terasa sakit semua (sakaw), tak ada rasa sakit yang luar biasa dirasa seperti itu dialami sebelumnya !. Badan meriang, air mata meleleh, pilek, dan semua tulang sakit, ngilu, apalagi kalau kena air, makanya pemakai putaw jarang mandi, soalnya kalau badannya kena air rasanya seperti ditusuk-tusuk, sakitnya bukan main. Maka kalau orang lagi sakaw bisa berteriak-teriak. Kalau shabu-shabu jika pemakainya berhenti badan jadi lemas, nggak bergairah. Lama kelamaan sel di otak jadi rusak, bengong, curigaan, gampang tersinggung, dan selalu ketakutan kepada orang lain.

Bahaya untuk cewek:

Þ Mengganggu siklus menstruasi, atau nggak mens selama memakai drugs

Þ Membuat kering rahim (peranakan) sehingga bisa menyebabkan mandul dan menyebabkan kista atau kanker.

Þ Pengaruh hormon, bisa menyebabkan payudara mengecil dan postur tubuh seperti cowok, enggak menarik lagi.

Þ Nggak doyan makan sehingga badan menjadi kurus, wajah nggak bercahaya dan nggak menarik lagi.

Þ Ketagihan bisa menyebabkan kita melakukan apa saja demi mendapatkan putaw atau drugs termasuk menjual diri (karena yang ada dalam piki-rannya bagaimana caranya dia bisa dapat drugs).

Cara penyebaran Drugs

Þ Ada teman nawarin solusi depat bebas masalah dengan drugs.

Þ Ingin coba - coba.

Þ Rasa ingin tahu terutama para remaja yang rasa ingin tahunya besar.

Þ Dirayu teman sehingga terpengaruh

Þ Gengsi sama pergaulan (merasa nggak bisa gaul)

Þ Nggak PeDe ( Nggak punya rasa percaya diri sama dirinya sendiri dan lingkungan masyarakat)

Þ Biar dianggap keren dan ingikutin perkembangan jaman.

Þ Merasa nggak bahagia sama lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Þ Pendidikan (kepahaman ) agama yang kurang kuat (Nggak takut neraka)

Þ Nggak bisa mengekspresikan diri atau mengungkapkan pendapat dan isi hati.


Cara supaya kamu tidak pakai dan terkena Drugs

Sebagai remaja kita harus berupaya sejauh mungkin jangan pernah menyentuh apalagi mencoba yang namanya drugs, narkoba, napza ini adapun caranya adalah:

Þ Jangan suka menyimpan masalah sendiri (entar jadi stress lho!) minimal cerita sama teman atau saudara terdekat.

Þ Dekat sama ortu dan mulailah terbuka dengan mereka. Cerita tentang kegiatan sehari hari sama mereka. Kalau ortu sibuk minimal hubungi mereka lewat telepon (kalau punya)

Þ Jangan melihat orangtua (ortu) sebagai musuh kita, cobalah anggap ortu sebagai teman terdekat atau sahabat.

Þ Kalau ada sesuatu uneg uneg dihati dikeluarin saja pada mereka (ortu atau sobat gambuhmu), jangan takut atau marah, jangan membiarkan beban terus bercokol dihati kita (lebih baik ngeluh plus berdoa minta jalan keluar yang terbaik kepada Alloh)

Þ Jangan pernah malu atau gengsi untuk minta maaf kalau kita berbuat salah karena semua orang pernah berbuat salah.

Þ Pilihlah salah satu kegiatan ekskul yang kamu jadikan hobi supaya nggak bosan belajar di rumah.

Þ Nggak tahu musti ngapain ? Nggak ada kerjaan ? Jangan sampai pikiran kosong itu nyampai di kepala karena biasanya kalau kita nggak tahu mesti ngapain, pikiran kita suka membayangkan dan memikirkan hal-hal yang nggak benar. Kenapa kita nggak mencari kegiatan yang positif saja

Þ Jangan pernah tergoda sama rayuan teman pemakai drugs/NAPZA.

Þ Kita mesti berani menolak mentah-mentah sama teman yang mencoba menawarkan obat kejam itu.

Þ Coba bilang dengan tegas. TIDAK ....TIDAK .... dan TIDAK .!!

Þ Pertebal ketahanan IMTAQ (iman dan taqwa)

Mengenali teman yang memakai drugs/NAPZA

1. Perubahan perilaku

Þ Yang tadinya periang menjadi pemurung

Þ Cepat tersinggung tanpa sebab

Þ Cepat naik darah

Þ Menarik (mengucilkan) diri dari lingkungan

Þ Tadinya pinter, tiba-tiba nilainya jeblok (prestasi menurun tajam)

2. Perubahan fisik

Þ Mata merah dan nggak jernih

Þ Badan semakin kurus

Þ Wajah nggak cemerlang

3. Perubahan penampilan

Þ Yang tadinya rapi jadi cuek dan berantakan

Þ Yang biasanya wangi jadi bau’

(Sumber :NAZA oleh tim Alifa yang diperkaya)

Edisi Kedua April 2002



[1]Sebagaimana virus komputer, “zat” ini akan meracuni pusat pengendalian diri seseorang yaitu hati nurani untuk melakukan tindakan nista dan melanggar ketentuan umum maupun peraturan agama